Selasa, 15 November 2011

Melatih Kemandirian anak

Mempunyai anak, berarti mempunyai kewajiban untuk melatih anak agar dapat mandiri sesuai tingkatan umur dan kedewasaannya. Bagi orang tua, kita sering terjebak pada over protektive, terutama bagi ibu yang bekerja di luar rumah, yang dapat berakibat kurang baik bagi kemandirian anak.
Apa yang dapat dilatih dalam meningkatkan kemandirian anak?
a. Melatih anak berani berjalan sendiri tanpa ditemani, dan atau orang tua melihat dari jauh.
Sesuai tingkatan umurnya, anak-anak menginginkan dapat mandiri, berkembang, dan bersosialisasi bersama teman-temannya. Bila sekolah terdapat fasilitas antar jemput, anak bisa dititipkan dan berlangganan antar jemput sekolah. Selain mengurangi kemacetan, anak dapat bersosialisasi dengan teman-temannya.
Anak juga perlu diperkenalkan dengan rute bis/angkutan umum. Saya tidak pernah menduga bahwa anak saya yang masih SD, pada suatu malam hari dengan penuh antusias bercerita, bahwa dia berjalan-jalan naik bis, sampai ke Kalideres (rumah saya di daerah Cipete, Jakarta Selatan). Saya mendengarkan kisah petualangannya dengan berdebar-debar, namun tak berani memarahi. Saya cuma nanya…”Mas, membayarnya pakai apa?” Dia jawab;…”Ibu, pak sopirnya baik, saya tak ditarik uang untuk membayar…” Bagaimana saya tak kawatir, karena saat dia masih SD, saya tak memberikan uang saku, karena SD nya dekat rumah, serta agar dia tak jajan sembarangan.
Setiap kali saya dan anak-anak berlibur ke Bandung, maklum suami bekerja di Bandung dan saya beserta anak-anak di Jakarta. Anak sulung saya tak bisa tinggal diam, dan selalu ingin mengamati, padahal rasanya saya sudah pengin istirahat di kereta api Parahyangan. Akhirnya oleh suami, anak kami dilatih bagaimana cara berjalan dari gerbong ke gerbong, apa yang harus diperhatikan, agar kaki tidak kejepit. Pada saat kereta api mau masuk setasiun Gambir, anak saya membawa sehelai kertas, isinya adalah hasil wawancara dengan penumpang selama perjalanan Bandung-Jakarta, berapa jumlah penumpang, usianya, pekerjaannya dll.
b. Membiasakan anak mempunyai catatan, atau hapal alamat dan nomor telepon yang mudah dihubungi
Sebaiknya anak dilatih mengingat nomor telepon dan alamat rumah, serta nama orangtuanya (nama ayah ibu), sehingga jika terpisah dapat segera meminta pertolongan. Ada kejadian yang setiap kali membuat saya tersenyum. Saat anak-anak masih kecil, saya melatihnya untuk menghapal nama lengkap ayah dan ibu, alamat dan nomor telepon rumah. Kemudian anak diajak ke pasar Swalayan, dan dipesan, nanti ketemu di lokasi yang sudah disepakati. Suami mengawasi dari kejauhan sambil membaca, dan saya berbelanja kebutuhan bulanan. Sepuluh menit kemudian, terdengar pengumuman, bahwa bapak dan ibu (disebutkan namanya) ditunggu putranya di counter lantai dasar. Saya langsung meninggalkan belanjaan yang belum selesai, demikian juga suami. Apa yang terjadi? Dengan tenangnya anak saya berkata…”Saya sudah mempraktekkan ajaran bapak ibu. Nggak ada yang salah kan?”
c. Melatih anak mengenal lingkungan tempat tinggal
Sebaiknya anak dilatih untuk mengenal lingkungan terdekat dimana kita tinggal, serta siapa yang dapat dihubungi, selain si Mbak yang sudah momong sejak kecil. Karena tinggal di kompleks, kami berasa seperti saudara, jadi di rumah ditempel catatan siapa saja yang perlu dihubungi jika terjadi keadaan darurat. Dengan tetangga dekat, kita meninggalkan catatan nomor telepon kantor, hand phone dan memberi tahu kalau harus tugas keluar kota.
Jika berada di luar rumah, anak diajari, agar selalu kembali kearah Blok M, kemudian bisa naik bajay yang dapat dibayar ke rumah. Jika bingung, jangan tanya pada sembarang orang, tetapi tanya pada petugas: seperti polisi, petugas DLLAJR, Satpam dan lain-lain.
d. Melatih anak agar tak mudah mempercayai orang yang baru dikenal.
Bukan hal baru, bahwa kadang-kadang ada orang yang mengajak anak hanya karena ingin mengambil anting emas yang menempel ditelinga anak. Saat anak bungsu masih kecil, saya tidak membiasakan anak memakai anting, karena walaupun emas imitasi, si penculik ada kemungkinan tak bisa membedakan. Namun ada risikonya, anak gadis saya sampai saat ini lebih nyaman tak memakai anting.
Ada pengalaman menarik yang disampaikan oleh guru SMP, beliau menyarankan agar anak-anak sebaiknya jajan di kantin sekolah dan jangan keluar dari lingkungan sekolah walaupun jam istirahat. Kalau ada kakak kelas, terutama alumni (yang sudah lulus SMP) mengajak makan dan mentraktir, sebaiknya ditolak, karena mereka ada kemungkinan membuat anak kita berhutang budi, serta bisa mempengaruhi untuk hal-hal yang kurang baik. Jika pulang sekolah, sebaiknya langsung pulang, jangan nongkrong di warung-warung di luar sekolah, karena ada kemungkinan ditawari makanan atau minuman yang telah mengandung obat.
e. Melatih anak mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR)
Kadangkala orangtua tidak tega, dan berusaha mengontrol pembuatan PR yang dibebankan pada anak. Almarhum Ibu Kepala SD, tempat anak saya sekolah, menasehati agar kami membiarkan dan melatih anak secara mandiri membuat PR, karena dikawatirkan anak tergantung pada ayah ibu (harus ditunggu saat membuat PR), padahal ayah ibu bekerja. ” Bu, biarkan mereka mendapat hukuman kalau lalai membuat PR, karena ini juga merupakan pendidikan bagi anak, agar mereka belajar disiplin”, kata ibu Kepala Sekolah. Saya sangat berterima kasih atas anjuran Kepala Sekolah ini, dan memang kadang-kadang anak harus mendapat hukuman akibat kelalaiannya.
Ada pengalaman menarik, saat anak sulung saya masih di SMP. Suatu ketika saya mendapat tugas keluar kota, dan si sulung disuruh membuat kerajinan tangan berupa celana pendek. Apa yang terjadi? Taplak meja saya turun tahta, dipakai sebagai bahan untuk membuat kerajinan tangan, dengan jahitan yang panjang-panjang, dan warna benangnya kontras dengan warna kainnya. Saya cuma bisa mengelus dada, ternyata saat ada pertemuan orang tua, ada orang tua yang cerita sambil ketawa (beliau juga bekerja di luar rumah), bahwa beliau kehilangan sprei yang dipakai untuk membuat kerajinan tangan.
Catatan:
Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, hasil pengamatan, diskusi dengan teman, psikolog dan guru, setiap ada kesempatan untuk membahas perkembangan anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar