Jumat, 18 November 2011

Remaja dan Kemandirian

DI dunia ini, kaJonyo, hanya ado dua kelompok manusia, yaitu pemimpi dan pengusaha Perbedaan di antara keduanya hanya satu Jiko pemimpi berhenti sebatas angan-angan. wirausaha berusaha mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan
Berpikir menjadi pegawai setelah menyelesaikan sekolah formal harus diubah sejak sekarang Kinilah saatnya buat teman-teman untuk merenda masa depan menajadi seorang wirausaha. Mereka yang hidup mandiri dan bahkan biso memberikan penghidupan bagi orang Iom, tanpa bergantung kepada orang lain.
Menurut informasi yang aku baca, dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah selular 250 juta jiwa, hanya ada 400 000 yang menjadi pengusaha Ini berarti hanya ada 0,18% entre-peneur aiau wirausahawan dari seluruh penduduk Indonesia
Padahal, agar roda perekonomian negara bisa bergerak moju, sebuah negara membutuhkan setidak-tidaknya 2% dari total penduduk yang menjadi pengusaha Ini berarti Indonesia masih membutuhkan empai juta pengusaha lagi Bandingkan dengan Singapura yang 7,2 persen penduduknya menjadi pengusaha Sementara itu, di AS, pada 2007 ada sebelas persen pengusaha dari seluruh penduduknya.
Teman-teman, jangan tokut untuk memulai usaha sendiri sejak kita masih remaja. Yang penting, kita horus bisa mandiri, (idak harus selalu menggantungkan diri bahkan menyusahkan orang tua kita. Kita bisa memulainya dengan mengubah pola konsumsi kita setiap han Kita harus bisa menyisihkan uang saku yang kita dapat, sebagai upaya untuk menabung dan menyimpan dan menggunakan uang kita di lain kesempatan.
Hemat pangkal kaya. Begitulah pepatah yang sering kita dengar Menabung memang hal yang penting. Dengan memiliki tobungon, kita dapat memiliki hal-hal kita inginkan dan mempunyai cadangan dana saat diperlukan Sebaliknya, dengan menghabiskan uang kito, mako hidup kilo mejadi tidak terencana. Sikap suka menabung ini pertu kita tonamkan sejak kita masih belia atau remaja
Itu hanyalah contoh kecil dan bisa kita lakukan untuk memupuk sikap mandiri dan jiwo wirausaha Masih banyak cara sederhana lain untuk menanamkan kemandirian, namun memiliki dampak besar bagi kita di kelak kemudian hari. Yong penting adaloh semangat dan kesungguhan kita untuk melakukannya "

Kemandirian Diri

Rasa kemandirian yang muncul pada diri seseorang terlebih karena faktor dorongan dari dalam maupun dari faktor lingkungan. Seseorang menganggapnya kemandirian, merupakan keputusan sikap untuk mengurus semua kebutuhan pada dirinya.
Gaya mandiri sudah biasa diterapkan di negeri Amerika atau Rropa, dikala usia menginjak 17 tahun, mereka tidak lagi satu atap dengan orangtuanya. Namun apa yang terjadi pada kaum muda di negeri ini?
Kemandirian merupakan satu tolok ukur perubahan manajerial terhadap pribadi seseorang. Memberikan pembuktian kepada orang sekeliling bahwa problema merupakan tahapan prosesi menuju pembuktian atas kesanggupan diri. Secara sistematis, seseorang akan terbiasa menghadapi masalah dengan apa yang ia ketahui semata.
Batasan-batasan inilah yang terkadang kemandirian tidak berjalan pada semestinya. Dalam artian, jika seseorang telah memutuskan untuk tidak lagi satu atap dengan orangtuanya, ia tetap mengAndalkan bantuan orangtuanya disaat kesulitan berat menghantamnya.
Oleh karena itu, kemandirian layaknya dilakoni dengan sesuatu yang sederhana, dahulukan dengan sesuatu yang ringan dalam penanganannya. Tidak perlu mengambil langkah radikal yang justru dapat melemahkan semangat kemandirian tersebut yang cenderung emosional.
Perlu diketahui, jika seseorang yang ingin bersikap mandiri, baiknya Ia mengerti dengan segala konsekuensinya, dihari kedepan tantangan kehidupan akan semakin berat dihadapi. Inilah satu pembuktian awal dimana seseorang akan merasa dirinya mampu melewati dengan baik.
Sinyalemen kemandirian akan kuat mengentaskan tantangan persoalan yang datang, maka lakukan sendiri apa yang Anda anggap benar dan baik bagi pemikiran dan kehidupan yang tengah Anda jalani.?

Kamis, 04 Februari 2010 Pengaruh Gaya Pengasuhan Orangtua Terhadap Kemandirian Remaja

Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam membentuk kepribadian seorang anak. Seorang anak akan tumbuh menjadi seorang remaja yang mandiri baik dalam hal emosi, berbuat, maupun berprinsip yang hal tersebut sangat dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orangtua dalam lingkungan keluarganya. Sehubungan dengan gaya pengasuhan orangtua dan hubungannya dengan kemandirian para remaja, hal yang terpenting diketahui oleh para orangtua bahwa seorang remaja juga sangat membutuhkan dukungan daripada sekedar pengasuhan, seorang remaja juga membutuhkan bimbingan daripada sekedar perlindungan, seorang remaja juga membutuhkan pengarahan daripada sekedar sosialisasi, dan seorang remaja dalam kehidupannya sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang (kebutuhan psikis) daripada sekedar pemenuhan kebutuhan fisik/materi semata. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat terkait pula dengan gaya pengasuhan yang diperankan oleh para orangtuanya, yang pada akhirnya juga sangat berpengaruh pada tumbuhnya kemandirian pada diri seorang anak ketika ia tumbuh menjadi seorang yang dewasa kelak.

A. Pendahuluan

Semua orangtua tentu saja mengharapkan anaknya dapat tumbuh menjadi manusia yang cerdas, bahagia, dan memiliki kepribadian yang baik. Namun harapan tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dituntut kesabaran, keuletan dan kesungguhan dari para orangtua agar harapan tersebut dapat terwujud. Salah satu yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah menerapkan gaya pengasuhan yang tepat agar anaknya dapat berkembang menjadi manusia dewasa seperti yang diharapkan.

Wahana yang pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak adalah keluarga. Dalam lingkungan keluargalah anak diasuh dan dibesarkan sehingga mengalami suatu proses untuk “menjadi” seorang manusia yang dewasa.

Fungsi keluarga dalam proses memberi “corak dan warna” seorang anak sangat vital. Fungsi tersebut disamping sangat vital juga berubah dan mengalami perkembangan seiring dengan bertumbuh dan berkembangnya usia seorang anak Misalnya pada masa bayi dan kanak-kanak, fungsi dan tanggung jawab utama sebuah keluarga adalah mengasuh, merawat, melindungi, membesarkan, dan melakukan proses sosialisasi. Namun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, misalnya ketika ia menjadi seorang remaja, maka fungsi utama keluarga akan bergeser dan bertambah pula. Seorang remaja lebih membutuhkan dukungan (support) dari sekedar pengasuhan (nurturance), ia lebih membutuhkan bimbingan (guidance) dari sekedar perlindungan (protection), dan seorang remaja lebih membutuhkan pengarahan (direction) dari sekedar sosialisasi (socialization) (Steinberg, 1991)

Berikut ini akan diuraikan bagaimana dan seperti apa kecenderungan seorang anak akan tumbuh menjadi seorang remaja yang mandiri jika dikaitkan dengan gaya pengasuhan (parenting style) dari orangtua.

B. Kemandirian Remaja

Dalam Bahasa Indonesia, kata “mandiri” diartikan sebagai suatu keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung kepada orang lain. Kata “kemandirian” adalah kata benda dari kata mandiri yang diartikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Kemandirian menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan orang lain, tanpa dikontrol oleh orang lain, dapat melakukan kegiatan dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Johnson dan Medinnus, (Widjaja, 1986) menjelaskan bahwa kemandirian merupakan salah satu ciri kematangan yang memungkinkan seorang anak berfungsi otonom, berusaha ke arah terwujudnya prestasi pribadi dan tercapainya suatu tujuan.

Dalam istilah psikologi, kata mandiri dipadankan dengan kata otonomi (autonomy). Senada dengan pendapat di atas, secara singkat Chaplin (1997) dalam Kamus Psikologi memberikan arti kata autonomy sebagai keadaan pengaturan diri, atau kebebasan individu manusia untuk memilih, menguasai dan menentukan dirinya sendiri.

Dari beberapa pengertian kemandirian di atas, diambil suatu pengertian bahwa secara substansial kata mandiri/kemandirian dan kata otonomi (autonomy) mempunyai kata kunci yang sama yakni terlepas dari ketergantungan pada orang lain, mempunyai tanggung jawab pribadi serta mampu melaksanakan segala sesuatunya oleh dirinya sendiri.

Fasick dalam Rice (1996: 45) mengatakan: “one goal of every adolescent is to be accepted as an autonomous adult”. Dengan demikian, maka kemandirian merupakan salah satu aspek yang gigih diperjuangkan dan diidamkan oleh setiap para remaja. Tuntutan adanya separasi (separation) atau self-detachment dari para remaja terhadap orangtua atau keluarganya semakin tinggi, hal ini sejalan dengan memuncaknya proses perubahan fisik, kognisi, afeksi, sosial, moral dan mulai matangnya pribadi para remaja saat memasuki masa dewasa awal, dan berkembangnya kebutuhan akan kemandirian (autonomy) dan pengaturan diri sendiri (self directed) dari para remaja.

Steinberg (1993), menyatakan bahwa secara psikososial kemandirian tersusun dari tiga bagian pokok yaitu: 1). Emotional autonomy (kemandirian emosi), 2). Behavioral autonomy (kemandirian untuk bertindak atau berbuat), dan 3). Value autonomy (kemandirian nilai).

1. Emotional autonomy (kemandirian emosi), yaitu aspek kemandirian yang berhubungan dengan perubahan kedekatan/keterikatan hubungan emosional individu, terutama dengan orangtua.

Ketika seorang anak telah memasuki usia remaja, maka hubungan antara anak dengan orangtuanya akan terasa berubah. Seiring dengan timbulnya kemandirian seorang anak, terutama dalam hal mengurus dirinya sendiri maka waktu yang diluangkan untuk kebersamaan orangtua terhadap anaknya akan semakin berkurang dengan sangat tajam.

Interaksi sosial pada seorang anak remaja yang awalnya lebih banyak terjadi di dalam lingkungan keluarga akan bergerak menuju ke lingkungan di luar keluarganya. Jika selama ini seorang anak remaja ketika masih dalam masa kanak-kanak interaksi sosialnya terbatas hanya dalam lingkungan keluarga, maka pada masa remaja hal ini mulai berkurang seiring dengan bertambah luasnya lingkungan sosial atau pertemanan remaja yang didapatnya. Keterikatan seorang remaja dengan orangtuanya akan semakin bekurang, Ia akan berubah menjadi dirinya sendiri dan berusaha mencari model yang sesuai dengan keinginannya. Ketergantungan emosional seorang remaja terhadap orangtua atau keluarganya akan semakin berkurang, meskipun ikatan emosional sebagai seorang anak terhadap orangtuanya tidak serta merta dan tidak mungkin dapat dipatahkan secara sempurna (Rice, 1996).

Steinberg (1993) menyebutkan bahwa kemandirian emosi seorang remaja dapat dilhat dari beberapa indikator seperti diantaranya sebagai berikut:

a. Tidak serta merta lari atau mengadu kepada orangtuanya ketika mereka dirundung kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran, atau ketika ia sedang membutuhkan bantuan.

b. Tidak lagi memandang orangtuanya sebagai orang yang mengetahui segala-galanya atau menguasai segala-galanya.

c. Seringkali mempunyai energi emosional yang besar dalam rangka menyelesaikan hubungan-hubungan di luar keluarganya, dan dalam kenyataannya mereka merasa lebih dekat dengan teman-temannya daripada orangtuanya sendiri.

d. Mampu memandang dan berinteraksi dengan orangtuanya sebagai orang pada umumnya, artinya bukan semata-mata sebagai orangtuanya.

2. Behavioral autonomy (kemandirian untuk bertindak atau berbuat), yaitu aspek kemampuan untuk membuat keputusan secara bebas dan melakukan tindak lanjut.

Mandiri dalam tingkah laku berarti bebas untuk bertindak/berbuat sendiri tanpa terlalu bergantung pada bimbingan/pertolongan dari orang lain. Kemandirian berbuat, khususnya kemampuan mandiri secara fisik sesungguhnya sudah dimulai sejak usia anak (Widjaja, 1986), kemudian akan meningkat dengan sangat tajam sepanjang usia remaja. Peningkatan ini bahkan lebih dramatis daripada peningkatan kemandirian emosional.

Kemandirian untuk berbuat sesungguhnya telah dimulai sejak dari adanya sebuah kewewenang yang diberikan oleh orangtua terhadap anaknya untuk berbuat atau melakukan sesuatu dengan sendiri. Secara psikologis, seorang remaja ingin mendapatkan kemandirian dalam hal bertingkah laku secara perlahan-lahan.

Pemberian kepercayaan sebaiknya diberikan secara bertahap atau sedikit demi sedikit terhadap seorang anak, hal ini akan memberikan situasi yang kondusif terhadap peningkatan kemandirian tingkah lakunya. Jika pemberian kewenangan atau kepercayaan diberikan secara berlebihan, maka kemungkinan justru akan dianggap oleh anak sebagai sebuah penolakan. Menurut Rice (1996), seorang anak ingin memikul tangungjawab sendiri, mempunyai kebebasan untuk berpendapat, ingin menggunakan kemampuannya sendiri dalam menyelesaikan masalah, namun pada hakekatnya ia menginginkan perhatian orangtua dan tidak menghendaki adanya kebebasan yang liberal atau kebebasan yang penuh.

Hill dan Holmbeck (dalam Steinberg (1993) mengemukakan beberapa indikator dari munculnya kemandirian berbuat pada seorang remaja diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dan mengetahui dengan pasti kapan seharusnya meminta/mempertimbangkan nasehat orang lain.

b. Mampu mempertimbangkan bagian-bagian alternatif dari tindakan yang dilakukan berdasarkan penilaian diri sendiri dan saran-saran orang lain,

c. Mencapai suatu keputusan yang bebas tentang bagaimana seharusnya bertindak/melaksanakan keputusan dengan penuh percaya diri.

3. Value autonomy (kemandirian nilai), yaitu aspek kebebasan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, hak dan kewajiban, apa yang penting dan apa yang kurang atau tidak penting.

Kemandirian nilai sesungguhnya menunjuk kepada suatu pengertian mengenai kemampuan seseorang dalam mengambil sebuah keputusan dan menetapkan sebuah pilihan dengan berpegang atas dasar prinsip-prinsip individual yang dimilikinya daripada mengambil prinsip-prinsip dari orang lain.

Jika dibandingkan dengan dua kemandirian sebelumnya yakni kemandirian emosi dan kemandirian untuk berbuat, maka kemandirian nilai merupakan proses yang paling kompleks, tidak jelas bagaimana prosesnya berlangsung dan seperti apa pencapaiannya, terjadi melalui proses internalisasi yang pada lazimnya tidak disadari dan umumnya berkembang paling akhir, dan paling sulit dicapai secara sempurna. Menurut Thornburg (1982), kemandirian nilai akan lebih berkembang setelah sebagian besar keputusan yang menyangkut cita-cita, pendidikan, rencana pekerjaan, dan perkawinan dialami dan dicapainya. Dalam banyak kasus, sistem nilai remaja dan orangtua sedemikian sama sehingga nilai-nilai orangtua akan dilestarikan oleh seorang remaja pada masa setelah ia dewasa.

Perkembangan kemandirian nilai membawa perubahan-perubahan pada konsepsi-konsepsi remaja tentang moral, politik, ideologi dan persoalan-persoalan agama. Steinberg (1993) menyebutkan bahwa tanda-tanda perkembangan kemandirian nilai remaja diantaranya sebagai berikut:

a. Cara remaja dalam memikirkan segala sesuatu menjadi semakin abstrak,

b. Keyakinan-keyakinan remaja menjadi semakin bertambah mengakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki beberapa basis idiologis,

c. Keyakinan-keyakinan remaja menjadi semakin bertambah tinggi dalam nilai-nilai mereka sendiri, bukan hanya dalam suatu sistem nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau figur pemegang kekuasaan lainnya.

C. Pengaruh Gaya Pengasuhan Orangtua terhadap Kemandirian Remaja

Remaja yang mandiri adalah remaja yang memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri secara bertanggung jawab meskipun tidak ada pengawasan dari orangtuanya (Steinberg, 1993). Kondisi demikian menyebabkan remaja memiliki peran dan sekaligus tanggung jawab baru, remaja menjadi tidak tergantung pada orang tuanya untuk memperoleh kemandirian secara emosional. Kemandirian menuntut kesiapan individu baik secara fisik maupun emosional untuk mengatur, mengurus, dan melakukan aktivitas atas tanggung jawabnya sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Namun kurangnya pengalaman remaja dalam menghadapi berbagai masalahnya menyebabkan mereka seringkali mengalami kesulitan dalam memperoleh kemandirian emosional.

Kemandirian adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan remaja dan merupakan bagian dari tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya sebagai persiapan untuk memasuki masa dewasa. Perkembangan kemandirian yang menonjol terjadi selama masa remaja, perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan sosial terjadi pada periode ini (Steinberg, 1993). Oleh sebab itu, kemandirian remaja dipandang sebagai sesuatu yang mendasar dan patut mendapat perhatian agar mereka dengan mantap dapat memasuki dunianya yang baru, yaitu masa dewasa tanpa mengalami hambatan yang berarti.

Ciri perkembangan kemandirian pada remaja diantaranya dapat dilihat pada perubahan hubungan kedekatan emosional antara remaja dengan orang tuanya. Perubahan hubungan tersebut sebagai proses transformasi, meskipun hubungan-hubungan mengalami perubahan, namun ikatan-ikatan perasaan (emosi) bagaimanapun tidak akan putus (Steinberg, 1993).

Perkembangan kemandirian remaja dapat dilihat dalam pola-pola pengertian yang dikembangkan remaja mengenai individualisasi. Proses individualisasi dimulai dari masa bayi dan terus berlanjut hingga memasuki masa remaja awal, meliputi perubahan yang berangsur-angsur (gradual) dan bergerak maju (progressive) bergerak ke arah individu yang mandiri, yang kompeten, dan terpisah dari orangtua. Proses individualisi merupakan pelepasan ketergantungan-ketergantungan seorang anak pada orangtuanya yang mendukung untuk menjadi lebih dewasa, lebih bertanggung jawab, dan mandiri.

Pada masa remaja, salah satu tugas perkembangannya adalah memperoleh kemandirian emosional dari orangtuanya dan dari orang dewasa lainnya (Havighrust, dalam Hurlock 1997). Perkembangan kemandiran emosional remaja dimulai dari terjadinya perubahan hubungan emosional antara remaja dengan orangtuanya, mereka mulai mengambil jarak dengan orangtuanya dan ingin mengatasi masalahnya sendiri. Perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam hubungan keluarga dapat memberikan anak lebih bebas dan lebih mendorong munculnya tanggung jawab anak, namun tidak mengancam ikatan emosional antara orangtua dengan anaknya (Baumrind, 1967). Perubahan demikian memberikan perkembangan kemandirian emosi akan semakin meningkat dan mudah untuk menciptakan sebuah keluarga yang fleksibel.

Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya kemandirian emosi remaja dimulai dari lingkungan keluarga melalui pola pengasuhan orangtua sehari-hari, kondisi pekerjaan orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan banyaknya anggota keluarga (Steinberg, 1993). Di samping faktor tersebut, faktor yang turut mempengaruhi terbentuknya kemandirian emosi remaja adalah peran orangtua tunggal (single parent) ataupun peran kedua orangtua yang keduanya berkarir dan mengharapkan anak remajanya mandiri sepanjang hari. Demikian pula dengan urutan anak dan jumlah saudara dalam sebuah keluarga turut mempengaruhi kemandirian emosi remaja, misalnya; anak yang lebih tua (walau usianya masih muda) sering diberikan tanggung jawab dan kebebasan oleh orangtuanya yang lebih besar.

Orangtua, melalui gaya pengasuhannya, dipandang sebagai faktor penentu (determinant factor) yang mempengaruhi perkembangan kemandirian emosi remaja. Disadari atau tidak, gaya asuh orangtua telah meletakkan dasar-dasar perkembangan pola sikap dan tingkah laku anaknya.

Dalam sebuah keluarga, interaksi antara orangtua dengan anaknya melibatkan pola tingkah laku tertentu dari orangtua. Pola interaksi antara orangtua dengan anak dalam sebuah keluarga untuk mengajar, membimbing dan mendidik dengan suatu tujuan tertentu dinamakan gaya pengasuhan (parenting style). Gaya pengasuhan merupakan cara yang khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam berinteraksi antara orangtua dengan anaknya.

Penelitian tentang gaya pengasuhan orangtua telah dilakukan sejak tahun 1930-an. Salah seorang peneliti yang teorinya banyak digunakan hingga sekarang dan dianggap paling populer adalah Baumrind. Baumrind (1991) mengemukakan 4 (empat) macam gaya pengasuhan orangtua yakni: authoritarian, authoritative, permissive, dan uninvolved/neglectful. Keempat gaya pengasuhan tersebut memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri dan masing memberikan efek yang berbeda terhadap tingkah laku anak.

1. Authoritarian.

Gaya authoritarian merupakan suatu bentuk pengasuhan orangtua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orangtua yang bergaya authoritarian menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku. Orangtua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Orangtua demikian sulit menerima pandangan anaknya, tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi semua Orangtua yang bergaya authoritarian meyakini bahwa seorang anak akan menerima dengan baik setiap perkataan atau setiap perintah orangtuanya, setiap anak harus melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh orangtuanya (Baumrind, 1967). Orangtua auhtoritarian akan mencoba mengontrol remaja dengan peraturan-peraturan yang mereka tetapkan, selalu memberi perintah tanpa mau memberikan penjelasan. Orangtua authoritarian selalu menuntut, kurang memberikan otonomi pada anaknya, dan seringkali gagal memberikan kehangatan kepada anaknya..

Orangtua yang bergaya authoritarian selalu berusaha mengarahkan, menentukan, dan menilai tingkah laku dan sikap anaknya sesuai dengan standar peraturan yang ditetapkannya sendiri. Standar dimaksud biasanya didasarkan pada standar yang absolut seperti nilai-nilai ajaran dan norma-norma agama, sehingga menutup kemungkinan bagi anaknya untuk dapat membantah orangtuanya. Gaya pengasuhan orangtua yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik dan perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atau sebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang remaja terhadap orangtuanya (Rice, 1996), anak remaja akan kehilangan aktivitas kreatifnya, dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock, 1985), remaja cenderung akan mengucilkan dirinya, kurang berani dalam menghadapi tantangan tugas dan tidak merasa bahagia (Baumrind, 1967).

Seorang remaja yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orangtua authoritarian cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan oleh orangtuanya, namun di balik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Sikap-sikap remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan remaja cenderung untuk selalu tergantung pada orangtuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya disebabkan semuanya disandarkan pada aturan dan kehendak orangtuanya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang remaja yang berada dalam asuhan orangtua yang authoritarian akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dalam hidupnya kelak.

2. Authoritative

Bentuk perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak (dalam hal ini anak usia remaja) dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya merupakan gaya pengasuhan authoritative. Orangtua yang authoritative bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional, orangtua demikian mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya, dan selalu mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran.

Orangtua yang bergaya authoritative bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas. Mereka menerapkan seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya, tetapi sekaligus berusaha membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan, serta kemampuan dan kebutuhan anak-anaknya. Mereka juga menunjukkan kasih sayang, mau mendengarkan dengan sabar pandangan anak-anaknya, dan mendukung keterlibatan anaknya dalam membuat keputusan di dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan menghormati hak-hak orangtua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang authoritative.

Dalam keluarga yang authoritative, keputusan-keputusan yang penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali berada di tangan orangtua. Anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima maka orangtua yang authoritative akan memberikan dukungan, tetapi jika tidak maka orangtua akan menjelaskan alasan-alasannya mengapa dia tidak merestui keputusan anaknya tersebut. Pola interaksi yang demikian akan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk memahami pandangan orang lain yang pada akhirnya dapat mengantar pada suatu keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Orangtua yang authoritative selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan pengendalian diri yang tinggi pada anak-anaknya, sekaligus tetap bertanggung jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya. Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orangtua yang authoritative. Dalam mengatur hubungan diantara anggota keluarganya, orangtua yang authoritative akan menggunakan otoritasnya namun mengekspresikannya melalui bimbingan yang disertai dengan pengertian dan cinta kasih. Anak-anaknya akan didorong untuk dapat melepaskan diri (self-detach) secara berangsur-angsur dari ketergantungan terhadap keluarga (Steinberg, 1993, Rice, 1996, Thornburg, 1982).

Santrock (1985) berpendapat bahwa kualitas pola interaksi dan gaya pengasuhan orangtua yang authoritative akan memunculkan keberanian, motivasi dan kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya. Gaya pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggungjawab sosial pada anak remaja.

Para remaja yang hidup dalam keluarga yang authoritative akan menjalani kehidupannya dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak anarkis (Baumrind, 1967). Mereka juga akan memiliki kemandirian yang tinggi, mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang baik, memiliki kematangan sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya.

3. Permissive

Pola-pola perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa kontrol atau pengawasan yang ketat merupakan bentuk atau gaya pengasuhan yang permissive.

Orangtua yang permissive akan memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya. Sekiranya orangtua membuat sebuah peraturan tertentu namun anak-anaknya tidak menyetujui atau tidak mematuhinya, maka orangtua yang permissive cenderung akan bersikap mengalah dan akan mengikuti kemauan anak-anaknya.

Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orangtua yang permissive jarang menghukum anak-anaknya, bahkan cenderung berusaha untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar suatu peraturan tersebut. Orangtua yang seperti demikian umumnya membiarkan anaknya (terutama anak remajanya) untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orangtua dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anak remajanya (Baumrind, 1967).

Sedikit, atau bahkan tanpa menggunakan kontrol terhadap anak remajanya, lemah dalam cara-cara mendisiplinkan anak remajanya merupakan ciri dari gaya pengasuhan dari orangtua yang permissive. Gaya pengasuhan demikian dipilih oleh orangtua yang permissive karena mereka menganggap bahwa remaja harus memiliki kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol oleh orang dewasa (Baumrind, 1967). Orangtua yang permissive bersikap lunak, lemah dan pasif dalam persoalan disiplin. Mereka cenderng tidak menempatkan tuntutan-tuntutan pada tingkah laku anak remajanya, memberikan kebebasan yang lebih tinggi untuk bertindak sesuai dengan kehendak anak remajanya sendirinya. Kontrol atau pengendalian yang ketat terhadap remaja menurut pandangan orangtua yang permissive adalah sebuah pelanggaran terhadap kebebasan yang dapat menganggu perkembangan seorang remaja (Steinberg, 1993)

Menurut Baumrind (1971), remaja yang berada dalam pengasuhan orangtua yang permissive sangat tidak matang dalam berbagai aspek psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati (impulsive), tidak patuh, dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan-keinginan sesaatnya. Mereka juga terlalu menuntut, sangat tergantung pada orang lain, kurang gigih dalam mengerjakan tugas-tugas, tidak tekun dalam belajar di sekolah. Tingkah laku sosial remaja ini kurang matang, kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat jelek, dan tidak mampu mengarahkan diri dan tidak bertanggung jawab (Santrock, 1985).

Meskipun di satu sisi gaya pengasuhan yang permissive dapat memberikan remaja kebebasan bertingkah laku, namun di sisi lain tidak selalu dapat meningkatkan tingkah laku bertanggung jawab. Remaja yang mendapatkan kebebasan tanpa adanya pembatasan yang jelas cenderung bersifat suka menang sendiri dan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Kurangnya bimbingan dan pengarahan dari orangtua menyebabkan mereka merasa tidak aman, tidak punya orientasi, dan penuh keraguan. Jika remaja menafsirkan bahwa kelonggaran pengawasan dari orangtua mereka sebagai bentuk dari tidak adanya perhatian atau penolakan terhadap diri mereka, maka mereka akan menyalahkan orangtuanya sebab dipandang telah lalai memperingatkan dan menuntun mereka (Rice, 1996).

4. Uninvolved/neglectful

Gaya pengasuhan uninvolved/neglectful adalah gaya pengasuhan dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak mau pula pusing-pusing dengan kehidupan anaknya. Gaya pengasuhan orangtua yang uninvolved lebih berdampak buruk dibandingkan dengan gaya pengasuhan yang permissive karena tidak adanya ikatan emosi ditambah dengan penerapan batasan yang kabur. Orangtua yang demikian hanya fokus pada penyediaan kebutuhan materi/fisik saja terhadap anak-anaknya, pemenuhan kebutuhan immateri/psikis anaknya terabaikan atau bahkan sama sekali tidak pernah diperhatikannya, padahal kebutuhan immateri/psikis seorang anak lebih penting dari sekedar pemenuhan kebutuhan materi/fisik.

Anak dari orangtua yang memiliki gaya pengasuhan uninvolved, ketika mereka tumbuh menjadi remaja, biasanya sering mencari pelarian dari rasa kesepiannya dengan cara mencari penerimaan dari orang lain. Akibatnya mereka seringkali terlibat dalam masalah-masalah perilaku dibandingkan dengan anak yang memiliki orangtua dengan gaya pengasuhan authoritative. Masalah perilaku tersebut misalnya perilaku seks bebas, penggunaan obat-obatan terlarang, maupun berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya sebagai salah satu cara atau bentuk mereka dalam mencari penerimaan dari orang lain. Secara emosi, remaja yang seperti ini mudah sekali mengalami depresi dan sering merasa ditolak. Dalam banyak kejadian, mereka tumbuh dengan perasaan ingin melawan, menentang, dan rasa marah yang bergejolak kepada orangtuanya karena merasa telah diabaikan dan dikucilkan. Mereka akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya kontrol diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orang tuanya. Bukan tidak mungkin serangkaian dampak buruk ini akan terbawa sampai ia dewasa. Tidak tertutup kemungkinan pula anak akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak. Akibatnya, masalah menyerupai lingkaran setan yang tidak pernah putus.

D. Penutup

Semua orangtua tentu saja mengharapkan anaknya dapat tumbuh menjadi manusia yang cerdas, bahagia, dan memiliki kepribadian yang baik. Namun harapan tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dituntut kesabaran, keuletan dan kesungguhan dari para orangtua agar harapan tersebut dapat terwujud. Salah satu yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah menerapkan gaya pengasuhan yang tepat agar anaknya dapat berkembang menjadi manusia dewasa seperti yang diharapkan.

Gaya pengasuhan yang authoritative memang dikenal yang paling ideal, tetapi mungkin adakalanya orangtua tak mampu menerapkan gaya pengasuhan seperti itu dengan sepenuhnya terutama pada saat emosi orangtua sedang tidak stabil. Misalnya, ketika sedang mengalami kondisi emosi yang tidak baik/negatif, orangtua cenderung bersikap lebih otoriter terhadap anaknya. Atau misalnya ketika orangtua sedang merasa senang karena usaha/bisnisnya berhasil, maka orangtua cenderung bersikap agak permisif terhadap anaknya.

Kondisi ini, menurut Mayke (http://www.tabloidnakita.com/Khasanah/ khasanah 06279 - 08.htm), masih manusiawi karena memang emosi manusia cenderung naik turun. "Yang penting, sikap orang tua masih dalam situasi terkontrol, maksudnya segera menyadari dan kembali pada rambu-rambu yang telah ditetapkan," tambahnya. Ada kemungkinan dalam kondisi tertentu orang tua memang harus bersikap tegas bila berhubungan dengan keselamatan jiwa anak atau orang lain. Misalnya ketika anak ingin bermain kabel yang dialiri listrik. Bila hal ini didiamkan, tentu dapat membahayakan jiwanya. Mau tidak mau orang tua harus bersikap otoriter, pada saat kondisi demikian, katakan lah: “tidak” kepada si anak bahwa hal itu tidak boleh dilakukannya.

Sehubungan dengan gaya pengasuhan orangtua dalam rangka memandirikan para remaja, maka hal yang terpenting diketahui oleh para orangtua bahwa seorang remaja lebih membutuhkan dukungan dari sekedar pengasuhan, seorang remaja lebih membutuhkan bimbingan dari sekedar perlindungan, seorang remaja lebih membutuhkan pengarahan dari sekedar sosialisasi, dan seorang remaja dalam kehidupannya lebih membutuhkan perhatian dan kasih sayang (kebutuhan psikis) daripada sekedar pemenuhan kebutuhan fisik belaka.

Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologis Pada Remaja

Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu. Seiring dengan berlalunya waktu dan perkembangan selanjutnya, seorang anak perlahan-lahan akan melepaskan diri dari ketergantungannya pada orangtua atau orang lain di sekitarnya dan belajar untuk mandiri. Hal ini merupakan suatu proses alamiah yang dialami oleh semua makhluk hidup, tidak terkecuali manusia. Mandiri atau sering juga disebut berdiri diatas kaki sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Kemandirian dalam konteks individu tentu memiliki aspek yang lebih luas dari sekedar aspek fisik.
 
Selama masa remaja, tuntutan terhadap kemandirian ini sangat besar dan jika tidak direspon secara tepat bisa saja menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis sang remaja di masa mendatang. Ditengah berbagai gejolak perubahan yang terjadi di masa kini, betapa banyak remaja yang mengalami kekecewaan dan rasa frustrasi mendalam terhadap orangtua karena tidak kunjung mendapatkan apa yang dinamakan kemandirian. Ruang konseling di website ini banyak dipenuhi oleh kebingungan-kebingungan dan keluh kesah yang dialami remaja karena banyak sekali aspek kehidupan mereka yang masih diatur oleh orangtua, meski banyak diantara mereka yang sudah berusia lebih dari 17 tahun. Salah satu contohnya adalah dalam hal pemilihan jurusan/fakultas ketika masuk sekolah/Perguruan Tinggi. Dalam hal ini masih banyak ditemui orangtua yang sangat ngotot untuk memasukkan putra/putrinya ke jurusan yang mereka kehendaki meskipun anaknya sama sekali tidak berminat untuk masuk ke jurusan tersebut. Akibatnya remaja tersebut tidak memiliki motivasi belajar, berkehilangan gairah untuk sekolah dan tidak jarang justru berakhir dengan Drop Out dari sekolah tersebut.
 
Mencermati kenyataan tersebut, peran orangtua sangatlah besar dalam proses pembentukan kemandirian seorang.  Orangtua diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Dengan  demikian anak akan dapat mengalami perubahan dari keadaan yang sepenuhnya tergantung pada orang tua menjadi mandiri. 
 
Kemandirian
 
Kemandirian, menurut Sutari Imam Barnadib (1982), meliputi "perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain”. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Kartini dan Dali (1987) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah “hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri”. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung pengertian:  
·         Suatu keadaan dimana seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya,
·         Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi,
·         Memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas tugasnya,
·          Bertanggungjawab tetrhadap apa yang dilakukannya 
Robert Havighurst (1972) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu:
  • Emosi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua.
  • Ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua.
  • Intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
  • Sosial, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. 
 
Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandiriannya seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dengan lebih mantap.
 
Untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri. Pada saat ini peran orang tua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi anak sebagai ”penguat” untuk setiap perilaku yang telah dilakukannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Reber (1985) bahwa : “ kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana seseorang secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain”. Dengan otonomi tersebut seorang remaja diharapkan akan lebih bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. 
Proses Perkembangan Kemandirian 
Kemandirian, seperti halnya kondisi psikologis yang lain, dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus-menerus dan dilakukan sejak dini. Latihan tersebut dapat berupa pemberian tugas-tugas tanpa bantuan, dan tentu saja tugas-tugas tersebut disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak.
Mengingat kemandirian akan banyak memberikan dampak yang positif bagi perkembangan individu, maka sebaiknya kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuannya. Seperti telah diakui segala sesuatu yang dapat diusahakan sejakdini akan dapat dihayati dan akan semakin berkembang menuju kesempurnaan. Latihan kemandirian yang diberikan kepada anak harus disesuaikan dengan usia anak. Contoh: Untuk anak-anak usia 3 - 4 tahun, latihan kemandirian dapat berupa membiarkan anak memasang kaos kaki dan sepatu sendiri, membereskan mainan setiap kali selesai bermain, dll. Sementara untuk anak remaja berikan kebebasan misalnya dalam memilih jurusan atau bidang studi yang diminatinya, atau memberikan kesempatan pada remaja untuk memutuskan sendiri jam berapa ia harus sudah pulang ke rumah jika remaja tersebut keluar malam bersama temannya (tentu saja orangtua perlu mendengarkan argumentasi yang disampaikan sang remaja tersebut sehubungan dengan keputusannya). Dengan memberikan latihan-latihan tersebut (tentu saja harus ada unsur pengawasan dari orangtua untuk memastikan bahwa latihan tersebut benar-benar efektif), diharapkan dengan bertambahnya usia akan bertambah pula kemampuan anak untuk berfikir  secara objektif, tidak mudah dipengaruhi, berani mengambil keputusan sendiri, tumbuh rasa percaya diri, tidak tergantung kepada orang lain dan dengan demikian kemandirian akan berkembang dengan baik.
Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologis Remaja
Memperoleh kebebasan (mandiri) merupakan suatu tugas bagi remaja. Dengan kemandirian tersebut berarti remaja harus belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya. Dengan demikian remaja akan berangsur-angsur melepaskan diri dari ketergantungan pada orangtua atau orang dewasa lainnya dalam banyak hal. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat para  ahli perkembangan yang menyatakan: "Berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak yang lebih bersifat motorik, seperti berusaha makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri, pada masa remaja kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat  keputusan sendiri dan kebebasan berperilaku sesuai dengan keinginannya".
Dalam pencarian identitas diri, remaja cenderung untuk melepaskan diri sendiri sedikit demi sedikit dari ikatan psikis orangtuanya. Remaja mendambakan untuk diperlakukan dan dihargai sebagai orang dewasa. Hal ini dikemukan Erikson(dalam Hurlock,1992) yang menamakan proses tersebut sebagai “proses mencari identitas ego”, atau pencarian diri sendiri. Dalam proses ini remaja ingin mengetahui peranan dan kedudukannya dalam lingkungan, disamping ingin tahu tentang dirinya sendiri.
Kemandirian seorang remaja diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara remaja dan teman sebaya. Hurlock (1991) mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja  belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima (bahkan dapat juga menolak) pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga dan mempelajari pola perilaku yang diterima di dalam kelompoknya. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama dimana remaja belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan angota keluarganya. Ini dilakukan  remaja dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok teman sebayanya sehingga tercipta rasa aman. Penerimaan dari kelompok teman sebaya ini merupakan hal yang sangat penting, karena remaja membutuhkan adanya penerimaan dan keyakinan untuk dapat diterima oleh kelompoknya. 
Dalam mencapai keinginannya untuk mandiri sering kali remaja mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain. Dalam contoh yang disebutkan diatas, remaja mengalami dilema yang sangat  besar antara mengikuti kehendak orangtua atau mengikuti keinginannya sendiri. Jika ia mengikuti kehendak orangtua maka dari segi ekonomi (biaya sekolah) remaja akan terjamin karena orangtua pasti akan membantu sepenuhnya, sebaliknya jika ia tidak mengikuti kemauan orangtua bisa jadi orangtuanya tidak mau membiayai sekolahnya. Situasi yang demikian ini sering dikenal sebagai keadaan yang ambivalensi dan dalam hal ini akan menimbulkan konflik pada diri sendiri remaja. Konflik ini akan mempengaruhi remaja dalam usahanya untuk mandiri, sehingga sering menimbulkan hambatan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan dalam beberapa kasus tidak jarang remaja menjadi frustrasi dan memendam kemarahan yang mendalam kepada orangtuanya atau orang lain di sekitarnya.Frustrasi dan kemarahan tersebut seringkali diungkapkan dengan perilaku-perilaku yang tidak simpatik terhadap orangtua maupun orang lain dan dapat membahayakan dirinya dan orang lain di sekitarnya. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan remaja tersebut karena akan menghambat tercapainya kedewasaan dan kematangan kehidupan psikologisnya. Oleh karena itu, pemahaman orangtua terhadap kebutuhan psikologis remaja untuk mandiri sangat diperlukan dalam upaya mendapatkan titik tengah penyelesaian konflik-konflik yang dihadapi remaja.
Bagaimana Orangtua Menyikapi
Kemandirian pada anak berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Di dalam keluarga, orangtualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri. Mengingat masa anak-anak dan remaja merupakan masa yang penting dalam proses perkembangan kemandirian, maka pemahaman dan kesempatan yang diberikan orangtua kepada anak-anaknya dalam meningkatkan kemandirian amatlah krusial. Meski dunia pendidikan (sekolah) juga turut berperan dalam memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri, keluarga tetap merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri. 
Bagaimana orangtua harus bertindak dalam menyikapi tuntutan kemandirian seorang remaja, berikut ini terdapat beberapa saran yang layak Bapak/Ibu pertimbangkan: 
1.      Komunikasi. Berkomunikasi dengan anak merupakan suatu cara yang paling efektif untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tentu saja komunikasi disii harus bersifat dua arah, artinya kedua belah pihak harus mau saling mendengarkan pandangan satu dengan yang lain. Dengan melakukan komunikasi orangtua dapat mengetahui pandangan-pandangan dan kerangka berpikir anaknya, dan sebaliknya anak-anak juga dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh orangtuanya. Kebingungan seperti yang disebutkan diatas mungkin tidak perlu terjadi jika ada komunikasi antara remaja dengan orangtuanya. Komunikasi disini tidak berarti harus dilakukan secara formal, tetapi bisa saja dilakukan sambil makan bersama atau selagi berlibur sekeluarga.
2.      Kesempatan. Orangtua sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak remajanya untuk membuktikan atau melaksanakan keputusan yang telah diambilnya. Biarkan remaja tersebut mengusahakan sendiri apa yang diperlukannya dan biarkan juga ia mengatasi sendiri berbagai masalah yang muncul. Dalam hal ini orangtua hanya bertindak sebagai pengamat dan hanya boleh melakukan intervensi jika tindakan sang remaja dianggap dapat membahayakan dirinya dan orang lain.
3.      Tanggungjawab. Bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang diperbuat merupakan kunci untuk menuju kemandirian. Dengan berani bertanggungjawab (betapapun sakitnya) remaja akan belajar untuk tidak mengulangi hal-hal yang memberikan dampak-dampak negatif (tidak menyenangkan) bagi dirinya. Dalam banyak kasus masih banyak orangtua yang tidak menyadari hal ini. Sebagai contoh: dalam kasus remaja yang ditahan oleh pihak berwajib karena terlibat tawuran, tidak jarang dijumpai justru orangtua lah yang berjuang keras dengan segala cara untuk membebaskan anaknya dari tahanan, sehingga anak tidak pernah memproleh kesempatan untuk bertanggungjawab atas perilaku yang diperbuatnya (bahkan tidak sempat melewati pemeriksaan intensif pihak berwajib). Pada kondisi demikian maka remaja tentu saja tidak takut untuk berbuat salah, sebab ia tahu orangtuanya pasti akan menebus kesalahannya. Kalau begini terus, kapan dong anak bisa bertanggungjawab atas segala perbuatannya dan mampu mandiri? 
4.      Konsistensi. Konsistensi orangtua dalam menerapkan disiplin dan menanamkan nilai-nilai kepada remaja dan sejak masa kanak-kanak di dalam keluarga akan menjadi panutan bagi remaja untuk dapat mengembangkan kemandirian dan berpikir secara dewasa. Orangtua yang konsisten akan memudahkan remaja dalam membuat rencana hidupnya sendiri dan dapat memilih berbagai alternatif karena segala sesuatu sudah dapat diramalkan olehnya.
 
Mungkin masih terdapat banyak cara lain yang patut dipertimbangkan dalam meningkatkan kemandirian sang remaja agar menjadi pribadi yang utuh dan dewasa. Satu hal yang perlu kita ingat adalah: "Jika kita dapat mengasuh dan membimbing anak untuk bisa mandiri melalui keluarga, mengapa kita tidak melakukan berbagai upaya untuk mewujudkannya mulai dari sekarang". Negara ini sudah penuh dengan berbagai ketergantungan pada pihak lain, maka jangan lagi kita membangun generasi baru yang juga penuh dengan ketergantungan dan menjadi beban keluarga. Semoga.
 

MMEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Panitia Nasional Peringatan 100 tahun Bung Hatta, dan merasa sangat terhormat dijadikan pembicara utama dalam kesempatan ini. Kepada Keluarga Besar Bung Hatta saya mengucapkan selamat atas ulang tahunnya yang ke 100. Tidak berlebihan rasanya kalau dikatakan bahwa bangsa Indonesia beruntung dikaruniai oleh Tuhan salah seorang putera terbaiknya yang memenuhi panggilan zamannya dengan memerdekakan bangsa Indonesia, yang memainkan peran penting dalam meletakkan landasan dan dasar-dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa mengurangi ruang lingkup kiprah Bung Hatta dalam pembentukan negara bangsa, perannya terbesar adalah dalam bidang ekonomi dengan pikiran-pikirannya tentang bagaimana mengisi kemerdekaan dengan pembangunan ekonomi yang mewujudkan kemakmuran dan keadilan dalam pembagian manfaatnya.
Secara pribadi saya merasa bersyukur dan merasa bangga bahwa saya memperoleh kesempatan beberapa kali berdiskusi dengan Bung Hatta tentang berbagai hal, antara lain tentang alma mater kita, yaitu Nederlandsche Handelshoogeschool yang meningkatkan diri menjadi Nederlandse Economische Hogeschool dan kemudian memperluas dirinya menjadi Erasmus Universiteit Rotterdam sampai sekarang. Kesemuanya ini membuat saya lebih-lebih lagi merasa bahagia dapat bersumbang saran pada rangkaian diskusi hari ini.
Para Hadirin Yth.,
Aneh rasanya bahwa 57 tahun setelah kita merdeka dan berhasil membentuk negara bangsa yang berbentuk kesatuan dalam kemajemukan, kita merasa perlu berbicara tentang  "Membangun Kekuatan Nasional untuk Kemandirian Bangsa." Bukankah kita sudah lama merdeka dan berdaulat yang dengan sendirinya juga mandiri ?
Marilah kita lihat kenyataan dewasa ini. Negara kita yang kaya akan minyak telah menjadi importir neto minyak untuk kebutuhan bangsa kita. Negara yang dikaruniai dengan hutan yang demikian luas dan lebatnya sehingga menjadikannya negara produsen eksportir kayu terbesar di dunia dihadapkan pada hutan-hutan yang gundul dan dana reboisasi yang praktis nihil karena dikorup. Walaupun telah gundul, masih saja terjadi penebangan liar yang diselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar 2 milyar dollar AS. Sumber daya mineral kita dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab dengan manfaat terbesar jatuh pada kontraktor asing dan kroni Indonesianya secara individual. Rakyat yang adalah pemilik dari bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memperoleh manfaat yang sangat minimal.

Ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya diperkirakan antara 3 sampai 4 milyar dollar AS. Hampir semua produk pertanian diimpor. Pasir kita dicuri dengan nilai yang minimal sekitar 3 milyar dollar AS. Republik Indonesia yang demikian besarnya dan sudah 57 tahun merdeka dibuat lima kali bertekuk lutut harus membebaskan pulau Batam dari pengenaan pajak pertambahan nilai setiap kali batas waktu untuk diberlakukannya pengenaan PPn  sudah mendekat. Semua orang menjadikan tidak datangnya investor asing menjadi ancaman untuk semua sikap yang sedikit saja mencerminkan pikiran yang mandiri.

Industri-industri yang kita banggakan hanyalah industri manufaktur yang sifatnya industri tukang jahit dan perakitan yang bekerja atas upah kerja dari para majikan asing dengan laba yang berlipat-lipat ganda dari upah atau maakloon yang membuat pemilik industri perakitan dan industri penjahitan itu cukup kaya atas penderitaan kaum buruh Indonesia seperti yang dapat kita saksikan di film "New Rulers of the World" buatan John Pilger. Pembangunan dibiayai dengan utang luar negeri melalui organisasi yang bernama IGGI/CGI yang penggunaannya diawasi oleh lembaga-lembaga internasional. Sejak tahun 1967 setiap tahunnya pemerintah mengemis utang dari IGGI/CGI sambil dimintai pertanggungan jawan tentang bagaimana dirinya mengurus Indonesia ? Anehnya, setiap tahun mereka bangga kalau utang yang diperoleh bertambah. Mereka merasa bangga dapat memberikan pertanggungan jawab kepada IGGI ketimbang kepada parlemennya sendiri. Utang dipicu terus tanpa kendali sehingga sudah lama pemerintah hanya mampu membayar cicilan utang pokok yang jatuh tempo dengan utang baru atau dengan cara gali lubang tutup lubang. Sementara ini dilakukan terus, sejak tahun 1999 kita sudah tidak mampu membayar cicilan pokok yang jatuh tempo. Maka dimintalah penjadwalan kembali. Hal yang sama diulangi di tahun 2000 dan lagi di tahun 2002. Kali ini pembayaran bunganya juga sudah tidak sanggup dibayar sehingga juga harus ditunda pembayarannya. Jumlahnya ditambahkan pada utang pokok yang dengan sendirinya juga menggelembung  yang mengandung kewajiban pembayaran bunga oleh pemerintah.

Bank-bank kita digerogoti oleh para pemiliknya sendiri. Bank yang kalah clearing dan harus diskors diselamatkan oleh Bank Indonesia dengan menciptakan apa yang dinamakan fasilitas diskonto. Setelah itu masih kalah clearing lagi, dan diselamatkan lagi dengan fasilitas diskono ke II. Uang masyarakat yang dipercayakan kepada bank-bank dalam negeri dipakai sendiri oleh para pemilik bank untuk mendanai pembentukan konglomerat sambil melakukan mark up. Pelanggaran Legal Lending Limit dilanggar selama bertahun-tahun dalam jumlah yang menghancurkan banknya dengan perlindungan oleh Bank Indonesia sendiri. Maka ketika krisis ekonomi melanda Indonesia di akhir tahun 1997, terkuaklah betapa bank sudah hancur lebur.

Kepercayaan masyarakat menurun drastis. Rupiah melemah dari Rp. 2.400 per dollar menjadi Rp. 16.000 per dollar. Dalam kondisi yang seperti ini Indonesia yang anggota IMF dan patuh membayar iurannya menggunakan haknya untuk minta bantuan.

Kita mengetahui bahwa paket bantuan dari IMF disertai dengan conditionalities yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Namun tidak kita perkirakan semula bahwa isinya demikian tidak masuk akal dan demikian menekan serta merugikannya. Juga tidak kita perkirakan pada awalnya bahwa kehadiran IMF di Indonesia menjadikan semua lembaga internasional seperti CGI, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia bersatu padu dalam sikap dan persyaratan di bawah komando IMF. IMF mensyaratkan bahwa pemerintah melaksanakan kebijakan dan program yang ditentukan olehnya, yang dituangkan dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) atau lebih memasyarakat dengan nama Letter of Intent atau LOI.

Bank Dunia setiap tahunnya juga menyusun apa yang dinamakan Country Strategy Report tentang Indonesia yang harus dilaksanakan kalau tidak mau diisolasi oleh negara-negara CGI yang sampai sekarang setiap tahun memberikan pinjaman kepada Indonesia. Justru karena jumlah utang keseluruhannya sudah melampaui batas-batas kepantasan dan prinsip kesinambungan, untuk sementara dan entah sampai kapan kita tidak dapat hidup tanpa berutang terus setiap tahunnya kalau kita tidak mau bahwa puluhan juta anak miskin kekurangan gizi dan putus sekolah.

Kalau kita baca setiap LOI dan setiap Country Strategy Report serta setiap keikut sertaan lembaga-lembaga internasional dalam perumusan kebijakan pemerintah, kita tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa yang memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Jelas sekali bahwa kita sudah lama merdeka secara politik, tetapi sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri.

Para Hadirin yang terhormat,
Kondisi ini sudah merupakan lingkaran setan yang disebabkan karena terjerumusnya pemerintah kita ke dalam lubang yang disebut jebakan utang atau debt trap. Karakteristiknya adalah yang secara populer dapat digambarkan dengan kata "dilematis" atau "maju kena mundur kena." Memerintah memang selalu harus memecahkahkan masalah-masalah dilematis seperti ini, tetapi masalahnya tidak mendasar, masalahnya adalah pilihan-pilihan yang sifatnya teknokratik. Kondisi dilematis yang kita hadapi sekarang adalah kehilangan kemandirian dalam merumuskan kebijakan. Karena itu masalahnya menjadi sangat mendasar, apakah putera puteri terbaik bangsa kita yang masih belum menjual dirinya untuk dijadikan kroni atau komprador dari bangsa-bangsa lain dibenarkan untuk hanya bertopang dagu, ataukah melakukan terobosan-terobosan untuk keluar dari situasi dan kondisi yang serba tidak lagi berdaulat dan mandiri.

Hari ini kita berbicara tentang "membangun kekuatan nasional untuk kemandirian bangsa." Apa yang tersurat dan tersirat dari tema pokok diskusi hari ini ? Ada dua hal. Yang satu adalah bahwa kita memang sama-sama merasakan atau bahkan meyakini bahwa setelah 57 tahun merdeka kita telah kehilangan kemandirian. Yang lain adalah bahwa kita tidak mau menerimanya, sehingga kita merasa perlu membangun kekuatan nasional untuk kemandirian bangsa. Membangun kekuatan nasional tidak dapat dilepaskan dari semangat nasionalisme. Pengertian nasionalisme itu memang dipertanyakan dalam dunia yang sedang dalam arus besar globalisasi. Banyak kaum teknokrat kita yang mempertanyakan apakah nasionalisme masih relevan sekarang ini ? Maka masalah ini akan kami bahas cukup panjang lebar.

Kalau selama penjajahan yang tiga setengah abad lamanya itu kita dihadapkan pada kekuatan senjata kaum penjajah, yang kita hadapi sekarang bukanlah senjata, melainkan pikiran-pikiran yang membuat kita tidak dapat bergerak secara merdeka. Mengapa ? Bukankah kita negara yang sudah merdeka dan berdaulat penuh ? Memang, tetapi kalau kita berani melanggar pikiran-pikiran yang dominan atau main stream thoughts dari masyarakat internasional, kita dianggap melakukan pelanggaran kontrak, dianggap melakukan contract breuk yang harus dihukum dengan diisolasinya Indonesia dari masyarakat internasional. Beranikah kita menghadapi isolasi dengan segala konsekwensinya ? Musuh kita untuk meraih kembali kemandirian bangsa bukan hanya aturan main yang ditentukan oleh lembaga-lembaga internasional, tetapi di dalam Indonesia diperkuat oleh sekelompok elit intelektual bangsa Indonesia yang besar pengaruhnya dalam pembentukan opini publik, betapapun tidak masuk akalnya pikiran-pikiran mainstream yang menjelma menjadi aturan, konvensi, dogma dan doktrin yang bagaikan sabda Tuhan yang mutlak.

Kita tidak mungkin memperoleh kembali kemandirian kalau kita tidak berani melakukan terobosan yang inovatif dan kreatif. Inovasi dan kreativitas memang selalu harus menerobos penghalang yang sudah menjadi aturan main, konvensi, dogma dan doktrin. Namun untuk melakukan itu semuanya ada biayanya, ada resikonya dalam bentuk kesengsaraan sementara. Ketika itu nanti terjadi, adalah para komprador dan kroni bangsa kita sendiri yang menghujat dan menakut-nakuti melalui penguasaan dan pengendalian pembentukan opini publik. Ini tidak mengherankan. Dalam setiap zaman selalu ada saja pengkhianat bangsa, komprador dan kroni yang dengan bangga dan dengan senang hati menyediakan dirinya untuk melayani kepentingan kekuatan-kekuatan global ketimbang membela kepentingan rakyatnya sendiri. Dalam bidang ekonomi kelompok ini sangat kuat karena mereka berkesempatan membangun jaringan nasional maupun internasional. Mereka adalah Mafia Ekonom Orde Baru.

Maka untuk meraih kemandirian, kita harus menggalang kekuatan nasional untuk melibas atau paling tidak mengkerdilkan pengaruh Mafia Ekonom Orde Baru itu. Mereka tidak punya pendirian. Mereka sudah mulai berpengaruh ketika Bung Karno mendirikan KOTOE. Mereka menjadi pemegang kendali mutlak selama zaman Orde Baru. Dalam era Gus Dur, mereka melekatkan diri melalui pembentukan berbagai dewan penasihat, tim asistensi dan sebagainya yang disponsori dan dipaksakan kepada Gus Dur oleh kekuatan-kekuatan internasional. Dalam era Megawati sekarang ini, mereka bahkan mengendalikan banyak Eselon I dan II dari semua departemen dengan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) yang rapi bagaikan kabinet. Para angggotanya tidak patuh kepada Presiden Megawati, tetapi kepada Presidennya sendiri yang dilengkapi dengan para Menteri tanpa bentuk pula, tetapi de facto yang berkuasa atas bagian-bagian penting dari birokrasi resmi.

Bagaimana caranya ? Slogan para komprador itu adalah bahwa nasionalisme sudah mati dan tidak relevan lagi dengan arus globalisasi yang semakin hari semakin deras. Doktrin mereka adalah bahwa Indonesia harus menjadi bagian dari borderless world, tidak boleh memasang pagar apapun juga untuk melindungi dirinya sendiri. Sistem lalu lintas devisa haruslah bebas mengambang total, BUMN harus dijual kepada swasta, sebaiknya swasta asing, karena hanya merekalah yang mampu mengurus perusahaan. Pendeknya liberalisasi total, globalisasi total, dan asingisasi total. Slogan propaganda mereka adalah "Apakah A Seng lebih baik daripada Asing ?", dan "BUMN minta diinjeksi uang oleh pemerintah, tetapi perusahaan asing membayar pajak kepada pemerintah."

Maka dalam rangka membangun kekuatan nasional, yang pertama harus kita lakukan adalah menumbangkan doktrin-doktrin anti nasionalisme yang terus menerus tanpa bosannya harus kita ulangi lagi dan ulangi lagi. Cara inilah yang diterapkan oleh Bung Karno dalam menggalang kekuatan nasional. Mafia Ekonom Orde Baru paham betul tentang hal ini. Itulah sebabnya mereka mencemooh yang ingin menggalang kekuatan nasional melalui kampanye atau pengulangan tentang yang salah dan perbaikannya akan diperjuangkan sebagai membosankan, tidak mempunyai pokok pembicaraan lain, sudah kuno, dan seterusnya.

Marilah kita bahas apakah benar bahwa nasioanlisme memang sudah mati dan tidak relevan lagi ? Tidak dapat dipungkiri bahwa tatanan dunia telah berubah banyak, dan globalisasi adalah hal yang riil. Namun kalau dikatakan bahwa nasioanlisme sudah mati dan tidak relevan lagi adalah kesalahan besar. Lagi-lagi adalah kelompok Mafia Ekonom Orde Baru yang sangat gigih menyuarakan bahwa nasionalisme adalah bagaikan katak dalam tempurung, hanya dianut oleh orang-ornag kuno yang tidak berpendidikan dan sudah sangat ketinggalan zaman tentang bagaimana dunia bekerja.

Presiden George W. Bush, baik dalam tutur katanya maupun dalam simbolisme-nya jelas seorang nasionalis sejati. Setiap hari dia menyematkan pin bendera Amerika Serikat pada dadanya, hal yang dilakukan oleh banyak dari para menterinya. Lebih dari itu, Bush menganjurkan supaya setiap orang Amerika setiap harinya menyematkan bendera Amerika di dadanya, dan hampir setiap department store menjualnya. Sebaliknya dengan susah payah saya mencari pin bendera merah putih di Jakarta dan tidak berhasil dengan kwalitas yang baik. Akhirnya saya membelinya dari Amerika melalui internet. Sekarang dengan mengacu pada pengalaman di tahun 1942, semua majalah di Amerika dianjurkan untuk memasang bendera Amerika pada cover-nya. Kata-katanya adalah : "July 1942 United we stand. In July 1942, America's magazine publishers joined together to inspire the nation by featuring the American flag on their covers. Be inspired." Bagaimana Mafia Ekonom Orde Baru ? Beranikah Anda menghujat Amerika sebagai ketinggalan zaman, katak dalam tempurung, tidak mengerti globalisasi dan seterusnya ?

Pada tanggal 18 Maret 2002 Uni Eropa berkumpul di Barcelona menyelenggarakan konperensi tingkat tinggi yang kesimpulannya penuh dengan nasionalisme Eropa. Memang sudah bukan negara-negara Eropa secara individual, tetapi menjadi Uni Eropa. Jelas sekali semangat kebangkitan kembali nasioanlisme Eropa yang terang-terangan membandingkan dirinya dengan Amerika Serikat dengan semangat yang tidak mau kalah. Kita tidak perlu mengemukakan fakta-fakta betapa Malaysia, Jepang dan RRC tidak pernah tidak nasionalistis.

Jauh sebelum itu, Edith Cresson sebagai Menteri Perdagangan Perancis membeli paberik elektronik Thomson dengan teknologi primitif untuk dijadikan BUMN. Paberik ini dibeli dan dijadikan BUMN karena kalah bersaing dengan Jepang dan mengalami kerugian besar. Ketika ditanya oleh parlemen Perancis mengapa, karena tidak menguasai hajat hidup orang banyak, dijawab bahwa dia tidak bisa melihat pasaran cosumers electronics Perancis di dominasi oleh Jepang. Bukankah ini nasionalisme ? Ataukah harus dikatakan bahwa parlemen Perancis adalah katak dalam tempurung ? Philips membeli Grundig yang adalah saingannya dan hampir bangkrut. Ketika saya tanyakan langsung kepada Prof. Dekker, Komisaris Utama Philips dia menjawab bahwa dia tidak bisa menerima pasaran elektronik Jerman didominasi oleh Jepang.

Ketika Hollywood dibeli oleh Sony, Sony dibuat bangkrut oleh para artis yang menandatangani kontrak dan terang-terangan tidak muncul ketika harus dibuat filmnya. Mereka menantang Sony supaya semua artis dituntut. Apakah sikap ini bukan nasionalisme Amerika ? Dan apakah ini nasionalisme sempit ?

Ketika IMF menekan kami untuk membebaskan bea masuk beras dan gula sampai nol persen, Eropa, Amerika dan Jepang memberlakukan bea masuk yang tinggi untuk produk-produk pertanian demi melindungi para petaninya. Apakah itu bukan nasionalisme, yang bahkan sangat tidak adil dan mau menangnya sendiri ?

Dengan mengatakan ini saya menjalani resiko disebut kampungan, karena hanya dapat menyebutkan fakta-fakta dari negara lain, tetapi tidak mempunyai daya nalar untuk menjelaskan mengapa nasionalisme masih relevan dalam era globalisasi yang semakin dipicu oleh revolusi micro chips dan revolusi telekomunikasi yang masih belum berakhir ?

Mungkin saya kampungan. Namun izinkanlah saya memeras otak mencoba memahami fenomena yang sedang berlangsung tanpa memusnahkan bangsa sendiri, dan tanpa membuat bangsa kita menjadi kuli di negaranya sendiri dan menjadi bangsa kuli dari bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Para Hadirin Yth.,
Tadi telah saya katakan bahwa kita tidak mungkin membangun kekuatan nasional tanpa dilandasi oleh semangat nasionalisme, karena semangat nasionalisme itulah yang merupakan ruhnya kekuatan nasional. Tetapi nasionalisme itu sendiri sekarang di persimpangan jalan. Maka marilah kita berupaya memperoleh kejelasan terlebih dahulu tentang hal ini.

Memang harus diakui bahwa walaupun kita telah merdeka 57 tahun lamanya, pengertian dan penghayatan nasionalisme oleh banyak orang, dibawah sadarnya masih banyak didominasi oleh nasionalisme pra kemerdekaan, baik yang membela maupun yang menentangnya, termasuk Mafia Ekonom Orde Baru. Karena itulah Mafia Ekonom Orde Baru tidak dapat membayangkan adanya perasaan nasionalisme yang dapat bersinergi dengan globalisasi. Nasionalisme pra kemerdekaan fokusnya sederhana dan tunggal, yaitu menumbangkan resim kolonial untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Apakah founding fathers kita tidak pernah memikirkan apa yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia setelah memperoleh kemerdekaannya, serta apa tujuan yang lebih lanjut dari sekedar merdeka secara politik ? Kalau kita mempelajari sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita, jelas sekali jangakauan pemikiran para founding fathers kita yang sangat luas dan jauh kedepan. Bung Hatta sendiri merupakan monumen dalam pemikiran pembangunan ekonomi. Tetapi karena perjuangan kemerdekaan itu sendiri adalah perjuangan yang panjang dan sangat berat, fokus segala pemikiran dan upaya memang seolah-olah hanya terpusat pada kemerdekaan politik belaka. Kemudian setelah kita merdeka, kita langsung dihadapkan pada masalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan sebagai nation state yang kokoh dan bersatu padu. Segala pemikiran dan upaya disedot oleh pemahaman dan penghayatan negara bangsa, atau oleh nation and character building. Yang saya rasakan, betapa sedikitnya generasi saya (apalagi generasi muda sekarang) yang memahami dan menghayati betapa sulitnya menempa penduduk negara kepulauan kita menjadi satu bangsa kesatuan, terutama setelah dijajah dengan politik divide et empera selama 3,5 abad. Kurangnya penghayatan inilah yang membuat banyak di kalangan elit kita mencemooh Bung Karno sebagai diktator demagoog yang hanya pandai mengombang ambingkan sentimen massa dengan retorikanya yang kosong dan keblinger, tetapi tidak becus mengurus perekonomian negaranya. Namun banyak juga yang bisa melihat sisi lain dari periode kepemimpinannya, yaitu panggilan sejarah untuk memimpin  di dalam sebuah periode pembentukan persatuan dan kesatuan negara bangsa yang baru saja merdeka, tetapi bangsa yang sangat pluralistik dengan kepulauannya, yang selama 3,5 abad dijajah dengan cara divide et empera tadi. Maka bagi saya, periode antara 1945 sampai 1966 adalah periode perjuangan keras dan sulit, melalui segala trial and errors-nya untuk tiba pada pembentukan nasion dan karakter bangsa dengan negara kesatuan yang mengenal sistem kabinet presidensiil, yang terobsesi terhadap pengambilan keputusan secara musyawarah dan mufakat, tetapi tidak mengharamkan pemungutan suara kalau alternatifnya adalah tanpa keputusan atau kekalutan. Dan karena itu, menjadi negara bangsa yang demokrasinya bisa menghindari diktatur mayoritas dan tirani minoritas. Bangsa yang tidak menganut faham bahwa konsensus nasional adalah 50 % ditambah 1. Bangsa yang secara moril melalui obesesi musyawarah mufakat selalu mendengarkan dan mencoba meyakinkan minoritas sampai habis-habisan sebelum mengambil jalan pintas melalui pemungutan suara. Bangsa, yang partai mayoritasnya tidak meninggalkan ruang sidang untuk ke WC atau minum kopi selama partai minoritas berbicara, dan hanya masuk untuk menolak segala usulannya. Tetapi bangsa yang mayoritasnya terobsesi untuk mencapai keputusan secara musyawarah dan mufakat, sehingga mendengarkan dan menanggapi minoritas secara sungguh-sungguh, walaupun minoritasnya hanya 10% saja. Pembentukan bangsa bercirikan pluralistik yang mempunyai satu bahasa nasional. Bangsa dengan toleransi beragama yang sulit dicari duanya. Masih segar di dalam ingatan kita keinginan Quebec di Kanada untuk memisahkan diri karena kesatuan bahasa mereka yang lain dengan bagian-bagian lain dari Kanada, yaitu Perancis versus Inggeris. Masih kita saksikan sampai sekarang betapa bangsa Irlandia yang letaknya di Eropa Barat itu masih saling membunuh karena perbedaan agama. Masih segar juga di ingatan kita betapa bangsa Belgia yang sekecil itu dan juga terletak di Eropa Barat masih saling membunuh karena perbedaan bahasa di kalangan mereka. Kalau kita tempatkan kondisi kita dalam perspektif ini, sia-siakah periode antara 1945 dan 1966 yang diwarnai oleh pergulatan keras dan tampak semerawut itu untuk pembentukan nasion dan karakter ? Dan apakah itu bukan nasionalisme yang masih besar dampak poistifnya sampai hari ini ? Bung Karno juga dicemooh sebagai orang yang suka gemerlapan, suka terhadap proyek-proyek mercu suar. Yang dijadikan ajang ejekan ketika itu adalah pembangunan Hotel Indonesia, Tugu Monumen Nasional dan jalan-jalan raya Thamrin, Jenderal Sudirman, Jenderal Gatot Subroto, bypass ke Tanjung Priok dan sebagainya. Tetapi begitu berkuasa, para pengejek itu langsung saja membangun proyek-proyek yang jauh lebih banyak dan jauh lebih megah daripada era Bung Karno. Kantor-kantor pemerintah dibangun sebagai gedung-gedung pencakar langit yang sangat mewah, walaupun dibiayai dengan utang. Sebaliknya, dapatkah kita membayangkan apa jadinya Jakarta sekarang tanpa jalan-jalan tersebut ? Dalam waktu singkta, jalan-jalan yang dinamakan mercu suarnya Bung Karno itu menjadi macet, dan para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru merasa wajar-wajar dan sah-sah saja membangun jalan tol yang dimonopoli oleh Ibu Tutut Soeharto. Bisakah kita membayangkan bagaimana Jakarta tanpa Hotel Indonesia sebelum munculnya hotel-hotel berbintang lainnya ? Hotel Indonesia juga menjadi kerdil dalam waktu singkat, dan para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru itu merasa wajar-wajar dan sah-sah saja bahwa kredit dalam jumlah raksasa dipakai untuk mendanai pembangunan hotel-hotel mentereng, terutama Hotel Grand Hyatt dengan serampangan yang akhirnya menjadi macet semuanya. Setelah semua bank rusak, para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru juga merasa normal-normal saja bahwa pemerintah menginjeksi dengan surat utang yang berpotensi membengkak sampai menjadi kewajiban membayar dengan jumlah ribuan trilyun rupiah. Mengapa ? Karena IMF menganggap wajar. Dengan mengemukakan ini semuanya, saya hanya ingin mengingatkan betapa tipisnya apresiasi dan penghayatan kita terhadap perspektif sejarah dari nasionalisme, yang dari periode ke periode mempunyai panggilan zamannya sendiri-sendiri, yang membutuhkan gaya kepemimpinan yang sendiri-sendiri pula, dan yang mempunyai prioritasnya sendiri-sendiri pula, karena keterbatasan kita sebagai manusia untuk melakukan segalanya seketika.

Bagi saya, periode antara 1945 sampai 1966 adalah periode pembentukan negara bangsa yang produktif dan telah menghasilkan kehidupan bernegara dan berbangsa seperti yang saya gambarkan tadi. Eksesnya ada, tetapi zaman apa yang tidak membawa ekses ? Periode ini adalah tahap akhir dari nasionalisme lama.

Dengan nasion seperti itu sebagai landasan, kita memulai periode baru di tahun 1966 dibawah kepemimpinan Pak Harto. Periode ini bercirikan pembangunan ekonomi secara pragmatik dan teknokratik. Stabilitas sebagai syarat mutlak bagi pembangunan ekonomi yang berkesinambungan diserahkan kepada ABRI. Strategi pembangunan diserahkan kepada kaum teknokrat yang berintikan para cendekiawan dari Universitas Indonesia. Kekalutan moneter ditanggulangi dengan terbosoan-terobosan sanering uang panas. Inflasi yang 600% diturunkan sampai pada proporsi yang wajar melalui penarikan uang dengan insentif pemutihan modal dan bunga deposito yang sampai 60% setahun. Hubungan dengan lembaga-lembaga internasional dan dengan negara-negara Barat yang membeku dibuka kembali, yang memungkinkan mengalirnya bantuan luar negeri dan investasi modal asing. Berbagai insentif bagi penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri diberikan, seperti yang tertuang di dalam undang-undang PMA dan PMDN. Hasilnya menjakjubkan. Angka-angka statistik mengenai pertumbuhan meyakinkan, sedangkan secara fisik dapat kita saksikan, bahwa praktis tidak ada lagi jalan yang berlubang-lubang. Sandang dan pangan serba cukup kalau dibandingkan dengan situasi tahun 1965-1966.  Di kota-kota kecil dan pedesaan kita saksikan kemakmuran dan kesejahteraan yang mencolok kalau dibandingkan dengan tahun 1965-1966. Di perkotaan, terutama di Jakarta, asalkan kita tidak memasmuki daerah-daerah kumuh, kita tidak merasa berada di negara yang sedang berkembang. Jalan-jalan macet dengan mobil yang harganya ratusan juta sampai milyaran rupiah. Para entrepreneur dan eksekutif berlalu lalang di restoran-restoran dan hotel-hotel termahal yang harganya dicantumkan dalam US $, dan tidak kalah mahal dengan negara-negara maju.

Indonesia yang mengenal sistem lalu lintas devisa bebas dan membuka pintu lebar-lebar terhadap modal asing memang terkait erat dengan intensifnya sebuah gejala yang kita kenal dengan globalisasi. Seorang eksekutif dari perusahaan transnasional garmen di New York yang mengendalikan perusahaannya di seluruh dunia melalui tilpun, facsimile, computer dan modemnya, lebih tergantung pada para perancangnya yang ada di Itali, para akhli marketingnya yang ada di Paris, para pemasok mesin yang ada di Jepang dan para konglomerat eksportir tukang jahit yang ada di Jakarta, daripada perusahaan-perusahaan yang ada di tetangganya di New York. Banyak dari wiraswasta kita yang lebih tergantung pada sumber dana dan pasar internasional daripada sumber dana dan pasar domestik. Banyak usahawan kita yang bermitra dengan perusahaan-perusahaan atau para hartawan internasional, yang beraneka ragam tingkat kemandiriannya di dalam perusahaan patungan itu. Perusahaan transnasionalnya merasa dia lihay karena bisa menggunakan orang sangat ternama menjadi kompradornya. Sebaliknya orang Indonesia yang bersangkutan sangat bangga, bahwa dia bisa menjadi kaya tanpa modal dan tanpa konsep, asalkan nurut saja dengan keinginan mitra asingnya. Mereka berpendidikan Barat, bisa bergaul dan berbahasa Inggeris dengan fasih. Perilaku dan tata nilainya mengenai apa yang sopan dan apa yang tidak sopan sudah Barat. Basa basi dan humornya sudah Barat. Dia adalah kosmopolit yang universal. Di luar negeri, terutama di negara-negara maju dan kaya, dia mempunyai villa yang mentereng dan mobil yang mahal.

Dalam suasana seperti ini lalu muncul kelompok cukup berpengaruh yang mulai beranggapan bahwa nasionalisme sudah mati. Nasionalisme adalah mencapai kemerdekaan politik. Urusan mempertahankan kemerdekaan supaya tidak di aneksasi oleh negara lain adalah urusan ABRI yang mereka gaji melalui pembayaran pajak. Urusan keamanan dan kententeraman adalah urusan polisi yang juga mereka gaji melalui pembayaran pajak. Demikian juga dengan para birokrat yang menjaga, supaya kehidupan ini menjadi nyaman, tenteram dan damai, supaya mereka bisa berkiprah secara kontinu. Ya, itu semuanya diakui. Tetapi terkadang dirasakan menjengkelkan karena memeras. Maka kalau perlu, digantilah fungsi douane dengan SGS.

Tetapi mereka adalah kelompok kosmopolit yang universal. Mereka yang mengendalikan arus barang, arus jasa dan arus uang yang tidak mengenal batas-batas negara. Merekalah yang membangkitkan pendapatan dengan jaringan nasional maupun jaringan internasionalnya. Mereka yang mengalami setiap menit, bahwa uang tidak mengenal batas-batas negara. Negara bangsa adalah mesti, karena biasanya memang harus ada, walaupun nyatanya batas-batas politiknya pun bisa berubah-ubah seperti yang sedang terjadi di Eropa, baik Barat maupun Timur. Negara bangsa atau nation states mempunyai kehidupannya sendiri, sedangkan satuan-satuan produksi, distribusi dengan jaringan internasionalnya adalah corporate states yang batasan-batasannya tidak sama dengan batasan-batasan wilayah geografis dan politik. Karena itu, bagi mereka nation states haruslah berfungsi dan bersifat melayani corporate states, harus ondergeschikt pada corporate states.

Mereka heran apabila dalam zaman seperti ini masih ada orang yang betreriak nasionalisme dan patriotisme. Apa yang mau dijadikan sasaran patriotisme-nya ?

Walaupun ada, dan bahkan cukup banyak dan cukup besar lobi dan pengaruhnya dari kelompok yang baru saya gambarkan tadi, tetapi di tengah-tengah bangsa kita toh masih ada yang berpendapat dan berkeyakinan bahwa nasionalisme dan patriotisme masih relevan. Saya termasuk kelompok ini. Maka menjadi menarik apa argumentasinya ? Punyakah kita argumentasi yang sekuat argumentasi mereka ? Bukankah kaum nasionalis di zaman sekarang orang-orang kerdil, sempit seperti katak di dalam tempurung ? Perlukah manusia merasa mempunyai ikatan sebagai bangsa, kalau dunia ini sudah terkait dengan komunikasi dan transparansi yang demikian intens-nya ? Memang manusia selalu membutuhkan kelompok. Tetapi bukankah kelompok ini diikat dengan kepentingan materi melalui uang yang konvertibel di seluruh dunia ? Bukankah kesetiaan kita yang relevan adalah kesetiaan kepada coprorate state-nya masing-masing yang bisa mempunyai markas besar di mana saja atas dasar pehitungan untung rugi materialistik dan pragmatik ?

Kalau memang ada ikatan dalam rangka negara bangsa atau nation state yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan meyakinkan, itulah nasioanlisme baru yang bisa menjawab tantangan zaman sekarang. Adakah itu ? Bagaimana gambarannya, apa bentuknya dan apa argumentasinya ? Marilah kita telusuri.

Izinkanlah saya memulai dengan dialog dalam kampanye pemilu yang untuk pertama kalinya saya alami di dalam hidup saya, yaitu di bulan Maret tahun 1987 di Petak Sinkiang, Jakarta. Ketika kepada massa saya tanyakan, kalau saya hidup di dalam keluarga yang sangat rukun dan harmonis, apakah berarti kita memusuhi keluarga tetangga kita ? Massa menjawab serentak dengan "tidaaak". Lalu saya tanyakan lagi, kalau satu RT sangat rukun, saling membantu dan harmonis, apakah RT itu mesti bermusuhan dengan RT lainnya ? Dijawab lagi "tidaaak". Karena dalam rangka kampanye, lalu saya tanyakan lagi, apakah kalau warga PDI bersatu padu, memperkuat diri, memperbaiki diri, saling asah, asih dan asuh, apakah dengan sendirinya bermusuhan dengan PPP dan GOLKAR ? Dijawab lagi dengan "tidaaak". Saya bertanya lagi, bagaimana kalau partai politik, RT, RW dan keluarga kita bubarkan saja, karena toh tidak relevan ? Dengan serentak dijawab lagi : "tidaaak". Setibanya di rumah saya merenung, mengapa saya tanyakan yang terakhir, yaitu apakah tidak lebih baik dibubarkan saja kalau tidak berhadapan dengan musuh bersama ? Saya tiba pada kesimpulan, bahwa di bawah sadar, saya ternyata kerdil, karena saya hanya melihat manfaat pembentukan kelompok kalau menghadapi musuh. Saya tidak melihat bahwa pembentukan kelompok yang mempunyai kesamaan, apapun kesamaan itu, ternyata mempunyai daya sinergi untuk membangkitkan hal-hal yang baik dan berguna bagi umat manusia. Tetapi massa yang "bodoh" itu, secara naluriah ternyata pandai. Maka mereka berpendapat, bahwa walaupun tidak ada musuh, pembentukan kelompok tetap perlu, tetap tidak perlu dibubarkan. Berlakukah opini yang demikian itu bagi negara bangsa ?

Maka yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah negara bangsa yang sudah tidak mempunyai musuh penjajah lagi masih berguna ? Apakah negara bangsa yang kecuali tidak dijajah, juga semakin lama semakin tidak mempunyai perbedaan ideologi lagi dengan bangsa-bangsa lainnya, masih relevan dipertahankan ? Beberapa entrepreneur dan eksekutif tadi mengatakan masih perlu, tetapi hanya untuk menjaga ketertiban, menjaga keamanan dan keselamatan bagi dirinya, serta membangun infra struktur yang dibutuhkan oleh corporate state-nya. Maka baginya, nation state haruslah tunduk dan hanya melayani corporate state yang mereka miliki dan kendalikan.

Tadi telah saya katakan bahwa saya bukan penganut faham yang demikian. Saya tetap yakin, bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan identifikasi dengan kelompok yang mempunyai kesamaan-kesamaan tertentu. Kesamaan yang paling mendasar adalah kesamaan senasib sepenanggungan dan atas dasar ini mempunyai kehendak membentuk negara bangsa. Kelompok sebagai bangsa selalu mempunyai naluri mengambil nilai tambah dari bangsa lainnya. Caranya yang paling primitif adalah peperangan fisik, saling memusanahkan dan saling menghalau, supaya memperbesar lahan nafkahnya. Peperangan-peperangan yang demikian adalah peperangan-peperangan kecil dari suku-suku primitif atau tribeswar. Dalam bentuknya yang sudah lebih modern lagi, negara bangsa yang lebih kuat menaklukkan dan menjajah bangsa lainnya dengan senjata. Tujuan akhirnya adalah melakukan penghisapan nilai tambah dari negara yang terjajah. Maka kolonialisme menjadi mode di mana-mana di seluruh penjuru dunia, dan kita menjadi korban Belanda selama 3,5 abad. Dengan dimensi yang lebih modern dan lebih besar lagi, Jerman Nazi di belahan Eropa dan Jepang di belahan Asia Timur ingin menundukkan bangsa-bangsa di sekitarnya untuk mengambil nilai tambah dari seluruh Eropa bagi Jerman dan di seluruh Asia Timur Raya bagi Jepang. Jepang, bahkan ingin melebarkan sayapnya lagi ke Pasifik dengan menggempur Pear Harbour. Berkecamuklah Perang Dunia ke II yang diakhiri dengan bom atom yang dahsyat. Setelah itu, terbentuk pengelompokan-pengelompokan antar negara dengan blok-blok superpowers, NATO dan Pakta Warsawa, masing-masing dibawah pimpinan Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mereka mulai melakukan perlombaan persenjataan. Tetapi senjatanya sudah bukan bom atom lagi, melainkan yang lebih dahsyat lagi, yaitu bom dan rudal nuklir. Kalau sampai senjata itu dipakai di dalam pertempuran dengan skala global, akan musnahlah semua kehidupan di bumi ini. Jepang dan Jerman yang dikalahkan dalam perang dunia ke II nampaknya yang paling jeli mengenali, bahwa pengambilan nilai tambah dari bangsa lain tidak bisa lagi dilakukan dengan senjata. Karena senjatanya sudah nuklir dengan daya musnah yang sangat dahsyat, pengambilan nilai tambah melalui penjajahan dengan senjata yang mengundang peperangan nuklir tidak akan terjadi. Tidak akan terjadi, karena manusia juga mempunyai naluri mempertahankan diri. Maka Jepang dan Jerman, tetapi terutama Jepang yang paling mengerti dan segera mempraktekkan bahwa pengambilan nilai tambah dari bangsa-bangsa lain memang tidak berbeda dengan peperangan antar bangsa, tetapi senjatanya harus diganti dengan senjata teknologi dan manajemen. Divisi-divisi militernya harus diganti dengan perusahaan-perusahaan transnasional. Kegiatan intelijen sangat penting, tetapi yang dicuri sekarang adalah rahasia membuat micro chips, dan mencuri teknologi paling canggih.

Mereka membuat dirinya unggul dalam produksi, distribusi, dalam pemenuhan kebutuhan manusia seluruh jagad, dan melalui cara ini selalu sangat jeli dan tajam menggait nilai tambah yang setinggi-tingginya. Caranya sangat beragam disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara bangsa yang sedang "dikerjain". Yang masih primitif dijadikan ajang mencari bahan baku dan pasaran bagi barang jadinya. Yang lebih canggih disuruh menjadi tukang jahit. Yang buruhnya masih murah dimasuki dalam bentuk merelokasi industrinya yang di negaranya sendiri sudah usang. Kalau sudah sangat canggih seperti Eropa Barat dan AS dimasuki dengan investasi langsung, membeli real estate, membeli salah satu studio terbesar di Hollywood, dan seterusnya dan sebagainya. Caranya bermitra juga sangat luwes. Yang bisa dijadikan komprador boneka ya dijadikan kopmrador. Yang agak pandai dan ingin mempunyai suara sedikit dalam pengambilan keputusan ya dijadikan eksekutif sesuai kemampuannya. Tetapi selalu didasarkan atas perhitungan yang tajam. Senjatanya, sekali lagi, adalah manajemen dan teknologi.

Maka tidak tertutup kemungkinan bahwa nilai tambah yang diraih dari negara-negara terbelakang oleh negara-negara maju sangat besar. Mungkin sekali jauh lebih besar daripada ketika menjajah model kuno zaman kolonial abad ke 18.

Tetapi di dalam penampilannya ada perbedaan yang sangat besar. Kalau dulu yang terjajah merasa sangat dihina, merasa sakit dan juga secara materi merasa sengsara. Sekarang lain lagi. Yang dijajah adalah negara yang sudah merdeka dan berdaulat. Elit yang berkuasa tidak merasa dihina. Mereka menjadi kaya dan mentereng karena korupsi, walaupun pada hakekatnya adalah komprador suruhannya belaka. Tetapi kalau yang menjadi suruhan didukung oleh pemerintah dari negara yang merdeka, dan toh bisa menjadi kaya raya, dan dengan kekayaannya ini lalu bisa sangat bergaya di negaranya sendiri maupun di mana saja di seluruh penjuru dunia, penggaitan nilai tambah yang demikian bisa dirasakan sangat nyaman oleh yang sedang di eksploitasi.

Dari uraian tadi jelas, bahwa percaturan dunia diwarnai oleh hubungan antar negara yang semuanya sudah merdeka secara politik, menyempitnya perbedaan ideologi antar negara, sedang berlangsungnya proses regionalisasi negara bangsa di mana-mana, menciptakan pengelompokan-pengelompokan baru atas pertimbangan yang lebih banyak di dominasi oleh pertimbangan ekonomnis, tetapi di motori oleh semangat nasioanlisme baru dengan daerah geografis yang lebih luas.

Nasionalisme baru adalah nasionalisme yang mengenali dengan tajam interaksi antarbangsa zaman sekarang dan mampu mengantisipasi perkembangannya. Maksudnya tidak hanya memantau sambil menutup dirinya, tetapi ikut bermain di dalam percaturan dan interaksi antar bangsa di dunia. Namun orientasi dari pengenalan dan kewaspadaan ini bukan untuk kemakmuran orang seorang, melainkan untuk seluruh bangsanya seadil mungkin. Semanagt nasioanlisme baru dalam menciptakan dan merebut nilai tambah tidak mau kalah dengan bangsa lain, tetapi tidak melalui penutupan diri, melainkan melalui semangat saling mengungguli.

Dengan demikian, seorang nasionalis baru adalah orang yang menghitung dengan tajam dan enggan menerima tawaran menjadi komprador mitra dagang asing, kalau dari perhitungannya dia tahu bahwa nilai tambah secara tidak adil dan tidak seimbang lebih menguntungkan mitra asingnya daripada bangsanya. Seorang nasionalis baru adalah orang yang merasa sangat terganggu ketika di luar negeri menyaksikan alangkah kalahnya negaranya sendiri dalam segala bidang, dalam kemakmuran, dalam penguasaan teknologi dan manajemen, dalam kebersihan, dalam keadilan sosialnya, dan menterjemahkan rasa malu itu ke dalam semangat tidak mau kalah dan ingin mengejar ketinggalannya. Orang yang bukan nasionalis baru adalah orang yang ketika menyaksikan semuanya itu lalu berkeinginan menetap saja di luar negeri, atau tidak menetap, tetapi membeli rumah, mobil, minta izin tinggal, supaya dari waktu ke waktu bisa menikmati kemakmuran negara lain itu, dan memikirkan bagaimana dia bisa meningkatkan kemakmurannya di luar negeri yang sudah nyaman dengan menggait nilai tambah dari negaranya sendiri, kalau perlu hanya sebagai komprador saja. Seorang nasionalis baru ketika mengunjungi paberik langsung melakukan catatan-catatan dan pemotretan-pemotretan dengan semangat ingin meniru membuat barang. Orang yang bukan nasionalis baru hanya berkeinginan memilkiki produk untuk konsumsinya sendiri supaya bisa lebih bergaya. Seorang yang bukan nasionalis baru tanpa perasaan terganggu memakai barang mewah buatan luar negeri dengan bangganya, sedangkan nasionalis baru juga memakainya, tetapi selalu diliputi perasaan penasaran mengapa bangsanya tidak bisa membuat barang yang sama. Seorang yang bukan nasionalis baru mau saja bermitra dengan perusahaan asing untuk menggait nilai tambah bagi si asing tanpa perasaan terganggu. Seorang nasionalis baru mungkin juga melakukan dan berbuat yang sama, tetapi selalu diganggu oleh perasaan penasaran, mengapa dia tidak bermitra juga dengan perusahaan asing di negara si asing juga, supaya sama derajatnya. Seorang nasionalis baru berusaha keras supaya memperlakukan para akhli Indonesia sama dan sederajat dalam perlakuan, dalam kepercayan dan dalam penggajian dengan para akhli asing, asalkan pendidikannya di sekolah yang sama di luar negeri, dan pengetahuan yang dimilikinya maupun kepandaiannya sama. Seorang yang bukan nasionalis baru cenderung masih dilekati oleh jiwa yang terjajah, yang selalu lebih menghargai para akhli asing, terutama yang bule, walaupun pilihan yang dihadapinya, yang bangsanya sendiri juga tamatan dari sekolah yang sama, dan bisa menunjukkan bahwa dia paling sedikit sama pandainya, sama pengalamannya, dan lebih mengenal Indonesia daripada para akhli asing itu.

Karena nasionalisme baru begitu terkait dengan interaksi bangsa-bangsa lain, ekspor memegang peranan penting. Kalau kita analisa tahapan-tahapan kemampuan sesuatu bangsa dalam ekspor, bisa kita bedakan sebagai berikut :
1. Mengekspor barang buatannya sebagai "tukang jahit". Design, spesifikasi, cara membuatnya, mesin-mesinnya, prosedur produksi dan administrasinya, bahan bakunya, semuanya ditentukan oleh perusahaan asing yang akan menampung produknya untuk dipasarkan di luar negeri. Merk juga harus memakai merk dari prinsipal. Untuk jasanya, mitra Indonesia yang "tukang jahit" ini memperoleh imbalan sekedarnya. Biasanya sangat kecil. Tetapi dari bekerja sebagai "tukang jahit" ini, dia menguasai pengetahuan dan ketrampilan untuk membuat produk yang eksak sama. Maka dia mulai meningkatkan dirinya ke dalam tahapan yang berikutnya, yaitu
2. Membuat barang yang eksak sama, tetapi memakai merknya sendiri. Dengan demikian ternyata bahwa harga pokoknya jauh lebih rendah dari harga yang dijual di luar negeri dengan merk prinsipalnya. Jadi dia sekarang sudah bisa membuat barang yang kwalitasnya eksak sama, tetapi dengan memakai merknya sendiri.
Ini adalah tindakan yang sangat prinsipiil dan krusial, karena dia sekarang dipaksa untuk bisa meyakinkan konsumen di luar negeri, bahwa produknya tidak kalah dalam kwalitas, tetapi sangat menang murah dalam harga. Hanya merknya yang masih belum terkenal. Dia harus melakukan promosi dan advertensi supaya merknya dikenal dan diakui sebagai sama baiknya dengan merk lain yang ditiru. Tahap berikutnya adalah :
3. Dia mulai memasukkan features, kemampuan-kemampuan tambahan dari produk yang tadinya ditiru 100 %. Contohnya adalah PC buatan Taiwan, yang meniru IBM, tetapi ditambah kemampuannya, sedangkan harganya jauh lebih murah. Tindakan ini memperkuat kedudukannya di pasar. Tahapan selanjutnya adalah :
4. Dia sudah berani merubah design produknya supaya tampak lebih indah dan lebih cantik. Dia sudah mulai berani beradu dalam bidang estetika.
5. Dia melakukan penelitan dan pengembangan sendiri, sehingga untuk barang yang fungsinya sama, yaitu memenuhi kebutuhan manusia akan barang yang dihasilkannya, dia sudah mendasarkan diri pada penemuan dan terbosoan teknologi sendiri. Misalnya, TV yang sama-sama TV-nya sudah meningkat dari sistem analog menjadi sistem digital. Musik yang tadinya atas dasar pita diganti menjadi piringan laser, dan sekarang compact disc.
Jelas bahwa untuk meningkatkan kemampuan dari tahapan ke tahapan seperti yang digambarkan tadi, orang membutuhkan dedikasi semangat yang luar biasa besarnya. Juga membutuhkan berani mempertaruhkan modalnya untuk pnelitian dan untuk merugi kalau gagal.
Pertanyaannya adalah kekuatan apa yang bisa membuatnya demikian, kalau dia sebagai komprador, sebagai tukang jahit saja sudah bisa menjadi sangat kaya ? Kekuatan penggerak atau driving force ini bagi bangsa Jepang dan Jerman jelas adalah obsesi untuk unggul, obsesi supaya seluruh bangsanya disegani dan dihargai di mana-mana diseluruh penjuru dunia. Mereka adalah nasionalis modern. Orang yang bukan nasionalis baru sudah akan sangat puas dengan menjadi kaya sebagai komprador. Kebanggaannya adalah kebanggaan karena dia kaya, dan karena itu bisa hidup di luar dengan gaya orang-orang di luar negeri yang sudah maju. Dia cenderung mengindentikkan dirinya dengan bangsa yang sudah maju di negaranya. Walaupun tidak suka, dia memaksakan dirinya minum wine, lebih menyukai steak, dan bahkan tartar atau daging mentah serta bekecot dengan nama yang lebih keren atau escargot. Dia berbuat sebisanya supaya bisa berbicara mengenai musik klasik Barat, supaya bisa berbicara mengenai lukisan. Dia tidak mempunyai kebutuhan supaya dengan pengalamannya dan kontaknya meningkatkan kemampuan seluruh bangsanya supaya bisa menjadi bangsa yang lebih disegani oleh bangsa-bangsa lain.

Sampai sekarang saya hanya berbicara mengenai nasionalisme baru dalam kaitannya dengan percaturan ekonomi dan bisnis dunia, karena dengan telah lama merdekanya Indonesia, dan dengan semakin tiadanya perbedaan ideologi antar bangsa, kegiatan bangsa-bangsa lebih terpusat pada perolehan nilai tambah dari mana saja.

Namun dapatkah nasionalisme dan patriotisme ada kalau tidak ada demokrasi dan keadilan ?
Kadar besar kecilnya demokrasi sangat berpengaruh terhadap nasionalisme baru. Bagi mereka yang merasa tidak cukup mempunyai hak-hak demokrasi, adalah lumrah apabila mereka ini lambat laun tergelincir pada suasana batin yang apatis, yang masa bodoh. Mereka dalam bentuknya yang ekstrim bisa merasa warga negara kelas dua atau lebih rendah lagi. Mereka tidak lagi atau kurang merasa merupakan bagian dari bangsanya, sehingga semua naluri yang masih ada untuk membela bangsanya secara keseluruhan semakin lama semakin pudar. Karena itu, demokrasi adalah syarat mutlak bagi nasionalisme. Demokrasi memberikan perasaan bahwa dia ikut memiliki negara bangsanya. Karena itu demokrasi adalah syarat mutlak bagi nasionalisme baru yang begitu gamblang, sehingga tidak banyak yang bisa di analisa kecuali menyebutnya. Bagi saya, kalau kita berbicara mengenai nasionalisme baru, sebenarnya sudah termasuk di dalamnya sebagai satu nafas adalah juga patriotisme, demokrasi dan keadilan sosial ekonomi. Hanya dengan itu semuanya sebagai satu paket, semuanya menjadi bisa ada. Kalau salah satu daripadanya tidak ada, keseluruhannya menjadi kabur.

KESIMPULAN

Istilah nasionalisme baru memang pada tempatnya, karena dengan telah lamanya kita merdeka, dan dengan berubahnya dunia dengan segala dinamkianya, fokus nasionalisme yang ingin kemerdekaan bagi bangsa kita secara politik sudah lama kita peroleh.
Setelah itu kita dihadapkan pada masalah sangat mendasar, yaitu masalah nation dan character building bagi bangsa yang wilayahnya berkepulauan, pluralistik, berbhineka. Dengan sumpah pemuda, di tahun 1928 kita sudah bertekad untuk membentuk negara bangsa yang berbentuk negara kesatuan, negara yang tunggal ika. Dapat kita bayangkan betapa beratnya periode antara tahun 1945 dan 1966. Seperti tadi telah saya kemukakan, kita telah berhasil dengan cukup gemilang.
Dalam mengisi kemerdekaan dengan pembangunan ekonomi secara nyata yang teknokratik dan pragmatik, negara kita terbuka bagi dunia luar. Sektor swasta secara sistematis diberi kesempatan yang lebih besar. Semua orang berkiprah dalam bidang pembangunan ekonomi, dalam bidang produksi dan distribusi. Semuanya berlangsung di dalam suasana interaksi antar bangsa yang semakin intens, di dalam dunia yang semakin mengecil dengan revolusi microchips dan revolusi telekomunikasi melalui satelit. Dalam suasana seperti ini kita berkiprah secara intens pula, sehingga kurang sempat memikirkan, masihkah nasionalisme relevan ? Pendangakalan intelektualisme terjadi karena terdesak oleh intens-nya dunia produksi, distribusi dan konsumsi, dan intensnya interaksi antar bangsa, dimana Indonesia termasuk di dalamnya.

Setelah penelusuran dalam bidang ekonomi, bisnis, produksi, distribusi, konsumsi, regionalisasi dan internasionalisasi, saya tiba pada kesimpulan bahwa lebih daripada yang sudah-sudah ternyata nasionalisme, patriotisme, demokrasi dan keadilan sosial ekonomi masih sangat relevan. Pertarungan memperoleh nilai tambah masih valid, tetapi bentuknya berubah. Penghisapan nilai tambah melalui senjata dan pendudukan berganti menjadi teknologi dan manajemen. Divisi-divisi militernya berubah menjadi perusahaan-perusahaan transnasional. Proses penghisapannya melalui kemitraan dan investasi langsung, lebih beraneka ragam, lebih luwes dan lebih sophisticated sehingga sangat sulit dikenali.

Untuk pengenalan apakah di dalam interaksi antar bangsa ini kita diuntungkan atau dirugikan membutuhkan kalkulasi yang konkret. Benarkah bahwa di dalam kenyataannya kita lebih diuntungkan oleh modal asing karena adanya lapangan kerja, karena adanya transfer of knowledge dan transfer of technology. Benarkah bahwa kita diuntungkan secara fair dan adil karena pendapatan pajak. Bukankah keuntungan mereka jauh lebih besar dari kita dan kita akan bisa mendapatkan lebih seandainya kita mau bekerja keras dan mau membebaskan diri dari konvensi, dogma, doktrin serta mitos-mitos yang oleh negara-negara maju dipaksakan kepada kita melalui para kompradornya yang sangat berpengaruh. Kesemuanya ini hanya dapat diketahui kalau kita melakukan kalkulasi yang eksak dan konkret. Bukan sekedar merumuskannya secara garis besar. Nasionalisme baru menuntut kemampuan-kemampuan baru dan dimensi pemikiran mikro yang bagi kita relatif baru ini.

Tidak ada negara yang bangkrut seperti halnya perusahaan, karena negara dapat berutang. Tetapi yang demikian itu bisa kita peroleh sebagai komprador dengan nilai tambah yang tidak sebanding kecilnya. Maka yang menjadi masalah bagi kita bukannya akan bangkrut atau tidak secara ekonomis, tetapi akan menjadi bangsa kelas terkemuka atau kelas belakang. Apakah kita akan menjadi bangsa yang diremehkan atau menjadi bangsa yang disegani.

Modal kita hanya semangat, yaitu nasionalisme baru, patriotisme baru, demokrasi dan keadilan sosial ekonomi.

Akhir kata, apakah yang menjadi driving force terbetuknya Eropa bersatu ? Keuntungan materi sematakah ataukah Eropa Barat sebagai kelompok negara yang demikian tuanya, akhirnya menemukan kembali nasionalisme barunya juga ?

Kita sering mendengarkan bahwa Jepang maju karena mempunyai sistem life time employment, mempunyai TQC dan QCC, mempunyai MITI, mempunyai sistem pendidikan yang terseleksi sejak SD dengan jalur elit yang berkesinambungan. Tetapi jarang yang menanyakan, mengapa justru Jepang mempunyai segalanya ini dan bangsa lain tidak punya ? Bisakah jawabnya adalah karena bangsa Jepang tidak pernah pudar nasioanlisme dan patriotisme-nya, dan bangsa Jepanglah yang paling awal mampu menterjemahkannya ke dalam nasioanlisme baru, yang arena pertempurannya adalah perolehan nilai tambah dari bangsa-bangsa yang telah merdeka. Dan karena itu senjatanya harus berubah menjadi penguasaan teknologi dan manajemen ?

Relevansi mengenai pentingnya keterkaitan dengan negara bangsanya mungkin bisa lebih ditonjolkan dengan contoh, bahwa apabila negara melalui pemerintahnya membela kepentingannya dengan memberikan subsidi seperti sertifikat ekspor, dia justru terkena sanksi penutupan negara penerima barangnya, seperti halnya dengan AS belum lama berselang dalam hal ekspor tekstil. Dalam keadaan sulit dia berteriak minta perlindungan dan subsidi. Apabila subsidi diberikan, dia akan terkena sanksi oleh negara pengimpor barangnya. Apakah negara bangsanya masih dirasa tidak relevan dalam kaitannya corporate states versus nation states ?

Kalau nasionalisme baru toh harus diberi definisi, saya kira definisi yang paling tepat adalah semangat yang selalu ingin meningkatkan kemampuan penciptaan kekayaan negaranya, tetapi bersedia bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain, dengan syarat bahwa di dalam kerjasama ini kita tidak dirugikan dan tidak merugikan negara lain. Sifat kerjasama dan interaksi adalah untuk mencapai sinergi dan tidak saling menghisap.

Para Hadirin Yth.,
Ketidak mandirian kita sekarang sudah memasuki tahapan yang sangat membahayakan. Saya tidak perlu berpanjang lebar karena sudah diperdebatkan dan diliput secara panjang lebar.
Kita sedang dalam proses dipaksa untuk benar-benar mengeluarkan uang ribuan trilyun rupiah membayar obligasi rekapitalisasi perbankan beserta bunganya. Perkiraan yang dihitung dengan cermat oleh BPPN menunjukkan bahwa kewajiban pemerintah untuk membayar obligasi rekap beserta bunganya bervariasi antara 1000 sampai 14.000 trilyun rupiah. Maka kalau kita ingin mengenakkan diri sendiri, tidak mungkin pemerintah harus membayar kurang dari tiga ribu trilyun rupiah. Obligasi atau surat utang yang semula dimaksud sekedar sebagai instrumen sekarang dipaksakan oleh IMF untuk dibayar betul. Obligasi yang tadinya harus ditarik kembali sebelum bank dijual, sekarang dipaksakan harus tetap melekat pada bank yang dijual seperti halnya dengan BCA. Dalam LOI terbaru, tidak lebih lambat dari bulan September Bank Niaga harus dijual dengan pola yang sama, dan Bank Danamon serta Bank Mandiri juga harus dijual dengan pola yang sama. Telah dibuktikan pula bahwa utang pokok obligasi yang jatuh tempo memang tidak mampu dibayar dan ditunda pembayarannya. Bahkan, sudah dan akan diterbitkan obligasi baru, yang kesemuanya akan menjadikan APBN kita di tahun-tahun mendatang pasti tidak sustainable. Tetapi IMF tidak mau tahu, mengajukan berbagai perhitungan yang sama sekali tidak masuk akal, dan lagi-lagi, dibela oleh Mafia Ekonom Orde Baru. Bukankah mengherankan dan mengejutkan bahwa selama 32 tahun Orde Baru pemerintah tidak pernah berutang dalam negeri, karena takut terjadi crowding out. Tetapi sekarang merasa tidak apa-apa menerbitkan surat utang yang bersama-sama dengan bunganya mengakibatkan kewajiban pembayaran oleh pemerintah sebesar ribuan trilyun rupiah ?

IMF melakukan tekanan pada Tim Ekonomi pemerintah untuk melakukan semuanya yang jelas karena sudah kehilangan kemandiriannya, dan dampak ketiadaan kemandirian ini sudah membawa kita pada ambang kehancuran. Maka sebagai tindak lanjut dari diskusi hari ini kita memang sudah harus membangun kekuatan nasional untuk memperoleh kemandirian kita sendiri demi menyelematkan kemerdekaan, kedaulatan dan kemandirian bangsa, sehingga dengan demikian dapat menghindarkan diri dari ketergantungan yang permanen dari masyarakat internasional.