Selasa, 15 November 2011

KEMANDIRIAN EKONOMI: MENGHAPUS SISTEM EKONOMI SUBORDINASI MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT


Pendahuluan


            Saat ini kemandirian ekonomi nasional telah menjadi tuntutan riil. Ketergantungan pada keterdiktean oleh pihak luar-negeri digugat sebagai penyelewengan mendasar dari cita-cita kemerdekaan nasional, sekaligus memperpuruk martabat, prestise dan harga diri bangsa. Platform nasional tentang pinjaman luar-negeri yang harus bersifat “sementara” dan “pelengkap” tidak ditaati lagi. 1)
           
Sejak awal kemerdekaan, kemandirian sejati telah tegas digariskan sebagai cita-cita nasional yang harus direalisasi, mewujudkan onafhangkelijk­heid, melepaskan diri dari ketergantungan. Selanjutnya pada awal Orde Baru, yang mewarisi kebangkrutan ekonomi Orde Lama, telah muncul ide mengenai perlunya kita memperoleh pinjaman dari luar-negeri untuk mengangkat perekonomian Indonesia. Bersamaan dengan itu muncul pula gagasan tentang bagaimana kita harus berhati-hati terhadap pinjaman luar-negeri. Misalnya di dalam penggarisan Tracee Baru di awal Orde Baru (1966) yang digagas oleh Universitas Indonesia, yang banyak dipelopori oleh tokoh-tokoh dari Fakultas Ekonomi, sempat dikemukakan tentang syarat-syarat untuk menerima pinjaman luar-negeri, yang intinya menyangkut bunga rendah (bukan altruisme) tidak mengikat dan digunakan untuk pembiayaan projek-projek pembangunan ekonomi yang masing-masing mampu mengembalikan sendiri hutang dan bunganya. Tracee Baru yang digelar dan dipelopori orang-orang FEUI masih tegas-tegas mempertahankan Deklarasi Ekonomi (sebagai acuan politik) yang intinya adalah politik ekonomi “berdikari” atau “mandiri”.

 

Transformasi Ekonomi dan Transformasi Sosial


            Secara sadar sejak Indonesia merdeka dan menetapkan UUD 1945 telah dengan tegas digariskan kebijaksanaan nasional untuk melakukan “transformasi ekonomi” dan “transformasi sosial”.

Dalam kehidupan ekonomi makna transformasi ekonomi berhakikat “merubah sistem ekonomi kolonial yang subordinatif menjadi sistem ekonomi nasional yang demokratis”. Para pendiri Republik dengan sangat bijaksana dan hati-hati menghidari kemungkinan terjadinya chaos dalam pelaksanaan transformasi ekonomi itu. Oleh karenanya ditetapkan Aturan Peralihan (Ayat II) UUD 1945 yang berbunyi: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dengan demikian maka berlakulah “dualisme” di dalam sistem ekonomi nasional. Sistem pertama berdasarkan paham demokrasi ekonomi yang secara imperatif sesuai Pasal 33 UUD 1945 (yaitu paham ekonomi berdasar “kebersamaan dan asas kekeluargaan”, mutualism dan brotherhood); dan sistem kedua berdasar paham individualisme atau “asas perorangan” mengikuti ketentuan Wetboek van Koophandel (KUHD) sesuai Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
           
Mengingat berlakunya sistem kedua (yang berdasar pada “asas perorangan”) sesuai dengan aturan yang bersifat “temporer” itu, maka di dalam menyusun sistem ekonomi nasional “asas perorangan” (yang menjadi dasar liberalisme dan hidupnya kapitalisme) seharusnyalah bersifat temporer pula. Dalam kaitan tugas transformasi ekonomi ini maka Negara secara imperatif harus memiliki komitmen tegas untuk menyusun perekonomian (kultur ekonomi dan bisnis) ke arah paham ekonomi yang berdasar pada “usaha bersama dan asas kekeluargaan”, kemudian menanggalkan paham ekonomi yang berdasar pada “asas perorangan”. Dengan kata lain, transformasi ekonomi berarti secara bertahap kita mem-Pasal 33-kan KUHD.

            Ada alasan hukum, yaitu masih dipertahankan berlakunya asas perorangan sesuai ketentuan Aturan Peralihan (Ayat II) UUD 1945, yang juga mengakibatkan kita mudah bersambung dan terdikte oleh kekuatan ekonomi dari luar yang berdasarkan individualisme, liberalisme dan kapitalisme, yang saat ini dengan deras di bawa oleh gelombang globalisasi. Sementara itu sistem ekonomi pasar-bebas (berdasar market fundamen­talism) adalah sistem yang memelihara dan mempertahankan tuntutan kultur ekonomi kapitalisme dahsyat yang eksploitatori dan predatori.

            Dalam pada itu keterdiktean, ketertundukan, ketakmandirian dan ketergan­tungan ekonomi terus berkelanjutan dengan tetap langgengnya budaya ekonomi subordinasi, yang mempertahankan hegemoni ekonomi dan menumbuhkan dependensi baru.

Hubungan ekonomi subordinasi tuan-hamba, taoke-koelie atau juragan-buruh (suatu economic slavery system sebagaimana berlaku pada zaman usaha VOC, pasca VOC, cultuurstelsel dan pasca cultuurstelsel) secara imperatif perlu kita ubah menjadi hubungan ekonomi yang demokratis, yaitu hubungan ekonomi yang partisipatori-emansipatori. Inilah transformasi sosial yang harus kita lakukan. PIR (Perkebunan Inti Rakyat) adalah cultuurstelsel baru. PIR bukan lagi sesuai dengan NES (Nucleus Estate Small-Holders) sebagai model empowerment aslinya, di mana inti seharusnya dimiliki (sebagian/seluruhnya) oleh plasma, di mana hubungan keduanya adalah keber­samaan, inti tidak mensubordinasi plasma seperti kenyataannya sekarang.

Transformasi sosial ini tidak mudah terlaksana. Transformasi sosial ternyata harus menempuh suatu proses budaya melalui pertentangan kepentingan sosial-ekonomi, dari yang keras terbuka hingga ke yang subtil, berhadapan dengan budaya feodalistik (patronisasi) dan servilisme (keinlander­an) yang tidak mendukungnya. Dalam kaitan dengan percaturan ekonomi antar negara hubungan ekonomi subordinasi sangat diwarnai oleh persistensinya inferiority complex bangsa ini, suatu budaya hidup yang tidak cerdas, penuh rasa minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Dengan makin melunturnya nasionalisme, maka hubungan ekonomi subordinasi ini hidup kembali dan sekaligus makin memperpuruk bangsa Indonesia.

Apakah keterpurukan seperti yang disinggung di atas berarti pula bangsa ini telah mengingkari “nasionalisme” sebagai kekuatan dahsyat yang inherent dan aktual, sebagai penggerak utama per­kembangan ekonomi nasional, sebagaimana ditegaskan sebagai suatu kenyataan riil oleh Joan Robinson, Leah Greenfeld, Ian Lustic dst 2) sebagaimana saat ini tetap merupakan kenyataan riil? Nasionalisme baru tetap menolak dependensi, namun mendorong interdependensi global, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab global.


Strukturalisme Ekonomi: Paradigma Baru


Keterpurukan Indonesia tidak terlepas dari peran kelompok meanstream yang saat ini mendominasi pemikiran kaum ekonom Indonesia, padahal basis teori neo­klasikal yang melandasi pemikiran mereka saat ini terperangkap ke dalam konservativisme dan konven­sionalisme ekonomi, yang boleh dibilang makin obsolit dan ortodoks.

Konservatisme dan ortodoksi ilmu ekonomi mainstream telah dengan keras ditentang oleh kaum strukturalis yang telah membuktikan asumsi dasar ekonomi neo-klasikal yang berdasar self-interest tidak lagi valid, bahkan telah membentukkan akhlak ekonomi yang makin jauh dari hakikat ilmu ekonomi sebagai a moral science. Dari asumsi itu telah terjadi suatu self-fulfilling prophesy yang menciptakan mindset ekonomi dan membentuk para pelaku ekonomi benar-benar menjadi homo-economicus, meninggalkan moralitasnya sebagai homo-ethicus. Ilmu ekonomi akhirnya berada dalam suatu berantakan (turmoil). 3) Fundamentalisme pasar, sebagai inherensi asumsi dasar self-interest, mempergiat keterjerumusan ini.4) Kelompok mainstream menjadi identik dengan kelompok market fundamentalists.

Tantangan kita adalah tantangan budaya, yaitu merombak paradigma obsolit dalam pemikiran ekonomi untuk membentuk suatu mindset ekonomi baru yang menjamin kemandirian.

Pandangan strukturalistik yang diungkapkan oleh John Kenneth Galbraith, 5) kiranya baik untuk mengawali titik-tolak tentang kelemahan ekonomi pasar. Galbraith me­nyatakan bahwa internasionalisasi modal, pro­duksi dan perdagangan yang bebas sebagai wujud utama dari globalisasi, akan me­nimbulkan pember­dayaan ekonomi dan politik (empower­ment) bagi kalangan aktor ekonomi yang mampu atas korban the underclass, yaitu golongan kelas bawah yang hidup dalam ekonomi rakyat.

Paham strukturalisme, baik strukturalisme awal mau­pun neostrukturalis­me, adalah paham yang menolak ketim­pangan-ketimpangan struktural se­bagai sumber ke­tidakadilan sosial-ekonomi. Kaum strukturalis mengungkapkan dan mengusut ketim­pangan-ketimpangan struk­tural yang berkaitan pe­musatan penguasaan dan pemilikan aset eko­nomi, ketim­pangan distribusi penda­patan, produktivitas dan kesem­patan ekono­mi. Kepedulian akademik-ilmiah pemikir struktur­alis meliputi pula masalah ketimpangan dalam ke­lembagaan, partisipa­si dan emansipasi sosial-ekonomi, pengangguran, kemis­kinan struktural dan masalah ketergantungan serta subordinasi sosial-ekonomi.

Kaum struk­turalis menempatkan ilmu ekono­mi pada peran norma­tifnya, menjelajahi komposisi dan inter­relasi antara para aktor, sektor-sektor dan variabel-variabel ekonomi dalam rangka perwujudan keadilan dan kesetaraan sosial-eko­nomi. Apabila struk­tural­isme cen­derung menolak me­kanisme pa­sar-bebas adalah kare­na pasar-bebas secara inheren menum­buhkan ketidak­adilan sosial-ekonomi. Demi­kian itulah maka struk­tural­isme banyak menggelar tuntutan transfor­masi ekonomi dan trans­formasi sosial yang harus diang­gap inherent dalam proses pem­bangunan nasional. Dalam kaitan­nya dengan ancaman dominasi dan hege­moni kekuatan ekonomi global, maka dapatlah dipahami bahwa struk­turalisme ber­kaitan erat dengan nasi­onalisme ekonomi. 6)
Kelompok ekonomi “moneteris” kebanyakan beranjak dari pemikiran neoklasikal (market funda­mentalism), sedangkan kelompok ekonomi “sektor riil” lebih dekat dan memahami pemikiran, tetapi tidak selalu rukun dengan, kaum strukturalis.

Selanjutnya kaum strukturalis, yang mengo­reksi kele­mahan mendasar dari mekanisme pasar dan per­saingan-bebas, dengan makin bergeloranya globalisasi dengan kapital­isme globalnya, makin gen­car pula menun­juk­kan kebenaran analitik dan bukti-bukti empirik, betapa globalisasi perlu benar-benar diwaspadai. Kaum struk­turalis mulai meng­gunakan is­tilah-istilah keras untuk me­nyentak mindset neo­klasikal, seperti “global capitalism”, “turbo capital­ism”, “new im­perial­ism”, “cowboy capital­ism”, “Old West capitalism”, “the dangerous cur­rents”, “the winner-take-all market”, “the zero-sum society”, “the winner-take-all society”, dst. Jan Tinbergen mengatakan kepada saya (1992) bahwa lobang ozone makin besar karena kelakuan “the greedy capital­ism. Dalam platform Club of Rome, lebih lanjut Tinbergen menga­takan bahwa “the limits to growth dalam 20 tahun menjadi “beyond the limits 7) karena kera­kusan kapitalisme global.

Kaum strukturalis tidak saja menunjukkan kele­mahan (parsialitas) ekonomi neoklasikal, tetapi juga me­ngoreksi dan bahkan menolak asumsi dasarnya. Kegagalan pasar dan ketidaksempurna­an pa­sar dalam mewujudkan the invisible hand (yang diabaikan oleh kaum market fundamentalists) adalah yang salah satunya, tidak terselesai­kannya micro-macro rift 8) adalah yang lainnya, sehingga efisiensi ekonomi yang dikembangkan berdasar tataran mikro tidak klop, bahkan bisa bertentangan dengan efisien­si ekonomi pada tataran makro.

Ekonomi neoklasikal berdasar mekanisme per­saingan pasar-bebas terbukti tidak mampu me­nga­tasi ketimpangan-ketimpangan struktural untuk ter­laksananya trans­­­formasi ekonomi dan transfor­masi sosial yang ber­makna. Oleh karena itu struk­turalisme berorien­tasi pada strukturisasi dan re­strukturisasi ekonomi disertai interven­si mengatur dan mengontrol mekanisme pasar. Kele­mahan me­ka­nis­me pasar-bebas dalam perwujud­an demo­krasi ekono­mi adalah (istilah saya) mungkin sekadar mampu mengha­silkan “nilai-tambah ekono­mi” teta­pi tidak menjamin dapat menyumbangkan “ni­lai-tam­bah sosio-kultural” (menjangkau makna parti­si­pasi dan emansipasi kemartabatan), 9) dan pula tim­pang­nya struktur kekuasaan ekonomi, telah men­jadi tema-tema utama dalam pe­mikiran eko­nomi strukturalis.

Strukturalisme peduli akan harkat manusia dalam lingkup moralitas ekonomi. Strukturalisme menolak homo economicus yang melahirkan akhlak homo homini lupus, menolak eksploitasi, pelumpuh­an (disempower­ment) dan pemiskinan (impoverish­ment) sosial-ekonomi. Apabila eko­nomi neoklasikal ber­orientasi pada per­tumbuhan (growth), maka eko­nomi struk­turalis le­bih mengutama­kan masalah redistribusi dan lapangan kerja (employ­ment). Bo­leh dibilang, sebagai upaya mengubah mindset atau pakem ekonomika, awal dari struktural­isme terutama ada­lah pe­mikiran ke arah “it is employment that will take care of growth”. 10)

Bagi Indonesia,11) pemikiran-pemikiran stra­tegis, cermat dan mendalam mengenai ketim­pangan-ketimpangan struktural harus tetap dikem­bangkan. Hanya dengan demikian maka kebijakan restruk­turisasi untuk mengatasi ketimpangan struk­tural da­pat didesain. Saya menawarkan beberapa butir kebi­jakan restrukturisasi ekonomi dalam artian refor­masi makro yang meliputi berbagai sektor, bidang dan dimensi a.l. seperti berikut: (1) Restruk­turisasi pemilikan dan penguasaan aset ekonomi: Pemilikan dan penguasaan aset oleh rakyat harus makin merata dan dapat mengurangi secara struk­tural konsentrasi-konsentrasi pemilikan dan pe­nguasaan aset pada sekelompok kecil aktor-aktor ekonomi. Setiap usaha ekonomi harus dapat meningkatkan pemilikan bu­kan sekadar meningkat­kan pendapatan masyarakat secara merata. Restrukturisasi ini diarahkan untuk membentukkan “Triple-Co”, yaitu co-ownership, co-determination dan co-responsibility sebagai im­plementasi demokratisasi ekonomi di dalam badan-badan usaha ekonomi (lihat Bagan II). Dalam re­strukturisasi ini hendaknya dihindarkan suatu pe­rampasan seperti ("savage acquisition", "canni­bal redistribution" atau "wild take-over"). (2) Restruk­turisasi alokatif: Menyang­kut alokasi dana-dana pembangunan, baik dana ang­garan nasional ataupun  daerah,  baik yang  berasal dari  perbankan ataupun dari lembaga-lembaga non-bank. Bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan non-bank harus tetap  memelihara perannya sebagai agen pembangunan, agen reformasi dan agen re­strukturisasi ke arah ter­capainya keseimbangan struktural yang lebih baik. (3) Restrukturisasi spasial (spatial): Restruk­turisasi ini diperlukan antara lain untuk mencapai peme­rataan dan keseimbangan pem­bangunan serta per­tumbuhan antara kawasan barat Indonesia dan ka­wasan timur Indonesia, an­tara Jawa dan luar Jawa, antara perkotaan dan per­desaan, dan seterus­nya. (4) Restrukturisasi sektoral: Hal ini diperlukan terutama untuk mencapai keseim­bangan dinamis antara sek­tor  industri  dan sektor pertanian, antara sektor for­mal-modern dan sektor informal-tradisional, antara sektor-sektor yang grassroots-based dan yang non­grassroots-based, menuju kukuhnya perekonomian rakyat (dengan wadah koperasi) sebagai  sokoguru  perekonomian nasional. (5) Restrukturisasi perpa­jakan: Selain berperan sebagai sumber penerimaan negara, pajak  ada­lah sarana redistribusi. Pada da­sarnya pajak harus progresif untuk mempersempit kesenjangan. Khu­susnya ter­hadap kekayaan dan pe­milikan barang mewah harus dikenakan pajak kekayaan secara progresif. Sebalik­nya terhadap ke­lompok miskin yang memerlukan pemberdayaan di­berikan subsidi atau proteksi. Pajak merupakan in­sentif untuk kegiatan produktif dan disinsentif ter­hadap kon­sumsi mewah. (6) Restruk­turisasi stra­tegis: Restruk­turisasi ini untuk memper­kukuh ke­mandirian eko­nomi, mengurangi depen­densi dan meningkat­kan interdependensi resiprokal yang se­imbang dan di­perlukan untuk memperkukuh fun­damental eko­no­mi. Dengan restrukturisasi stra­tegis ini perekono­mian nasional diarahkan untuk berakar di dalam-negeri dan menjadi people-centered dan resources-based. (7) Restruk­turisasi pola-pikir atau reorientasi budaya: GBHN telah mendorong reorien­tasi sema­cam ini, yakni antara lain reorientasi ke arah lebih banyak mem­buka akses akan hak-hak rak­yat dan mengembangkan perekonomian rakyat me­lalui sis­tem ekonomi berdasar demokrasi ekonomi. (8) Restrukturisasi sosial-politik dan sosial-budaya: Restruk­turisasi ekonomi ini tidak akan sepenuhnya berman­faat apabila tidak didu­kung oleh restrukturi­sasi di bidang sosial-politik dan sosial-budaya. Re­strukturisasi sosial-politik menyangkut demokratisasi politik dan peran masyarakat madani. Restrukturi­sasi sosial-budaya menyangkut upaya mengubah mindset, melakukan unlearn­ing terha­dap pakem-pakem usang, khusus­nya re­strukturisasi dan demokratisasi pendi­dikan rakyat. 12)

Sementara itu Sritua Arief salah satu tokoh strukturalis utama Indonesia mengecam ilmu ekonomi neoklasikal yang menjadi roh globalisasi, dengan menegaskan bahwa ia menentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pasar-bebas dalam ruang lingkung internasional yang tidak adil dan bahwa pasar harus di intervensi. 13)

Saya sendiri telah memberikan gambaran betapa kita harus mewaspadai globalisasi meskipun kita tidak harus menolaknya, saya kemukakan paling tidak ada tiga kelompok yang mempunyai pandangan berbeda mengenai globalisasi yang harus kita perhatikan dengan cermat: (1) Kelompok pengagum; (2) Kelompok kritis dan obyektif; (3) Kelompok yang menolak. 14) Saya sendiri cenderung untuk memihak kelompok ketiga dalam arti mewaspadai dan bersikap sangat hati-hati terhadap kelompok pertama dan kedua. Bahaya globalisasi akan saya sajikan pada lampiran (lihat Lampiran I).


Ideologi Kerakyatan dan Ekonomi Rakyat


            Berkali-kali Mubyarto dan saya mengingat­kan bah­wa pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus te­lah “keliru”. Saya telah menegaskan ten­tang keterpe­ro­sokan kita ke dalam perangkap teore­tikal-parsial dan yang menerima begitu saja asumsi dasar neoklasikal yang mengacu pada pola pemikiran ekonomi Barat yang sempit dan mengandung ber­bagai ortodoksi, yang akan saya sajikan pada lampiran (lihat Lampiran II).

            Di paragraph depan telah saya kemukakan mengenai Pasal 33 UUD 1945 dan tugas pelaksanaan cita-cita transformasi ekonomi dan transformasi sosial. Proses transformasi ini tidak akan bisa dilakukan apabila beberapa butir perintang tidak terlebih dulu kita atasi, antara lain: (1) asas perorangan dengan paradigma individualisme dan liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu (self-interest economics yang berpedoman free-competition dan market fundamental­ism); (2) asas kebersamaan dan kekeluargaan berdasar paham kerakyatan (demokrasi ekonomi), di mana kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang-perorang (tanpa mengabaikan hak orang-perorang); (3) negara melepaskan diri dari tugasnya sebagai agent of development dan agent of reformation dalam mengatasi ketimpangan-ketimpangan structural (percaya pada the invisible hand yang dalam kenyataan telah kembali menjadi the incapable hand atau the dirty hand); (4) mewaspadai globalisasi dengan ide pasar-bebas dan boderless world-nya;

Untuk itu marilah kita mulai menegaskan lebih dahulu, siapa yang disebut “rakyat”?

Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis oleh sekelompok pencemoh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat? Tentu ia bagian dari rakyat! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.

“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interest” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “public needs” (yang berdimensi domain publik) dan “individual privacy”. Ini analog dengan pengertian bahwa “preferensi sosial” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “preferensi individual”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu.

            Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutual­ism/mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood/broederschap/ukhu­wah) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei” – suara rakyat suara Tuhan, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak, tidak tunggal. (Ideologi kerakyatan saat ini harus berhadapan dengan adagium baru politik uang “vox populi vox argentum” – suara rakyat suara uang).

            Seperti dikemukakan di atas, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi nasional kita berlaku demokrasi ekonomi, yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi  politik”.
Konsep pembangunan ekonomi rakyat sebenarnya sangat jelas bagi yang masih berkeinginan mengetahuinya serta bersedia melepas  pola-pikir lama yang terbukti “bias”, dengan melakukan unlearning secara wajar menuju pemikiran reformatif. Titik-tolaknya adalah "mengabdi rakyat", bukan "mengabdi ilmu" sema­ta-mata. Ilmu harus bisa ditawar dengan misi. Ilmu yang kita kuasai kita kembang­kan dan kita abdikan kepada rakyat dan kepentingannya.

Pemihakan (altruisme) saja kepada ekonomi rakyat tidaklah cukup, kita harus meyakini pula bahwa ekonomi rakyat memiliki kekuatan sebagai strategi pembangunan.

Memang ekonomi rakyat penting untuk mendapat perhatian khusus dari kita. Bukankah dengan terjadinya krisis ekonomi yang melanda perekonomian besar (ekonomi konglomerasi) ekonomi rakyat ternyata tetap bertahan? Bukankah kita harus bersyukur bahwa dengan terpuruknya ekonomi besar, ekonomi rakyatlah yang ternyata memberi penghidupan dan pekerjaan kepada rakyat. Untuk itu saya ingin mengatakan: “untunglah ada ekonomi rakyat”. Dengan demikian itu kehidupan ekonomi rakyat tetap tersangga dan tejamin.

            Ekonomi rakyat adalah riil dan konkrit. Kita bisa bersilang pendapat mengenai definisi ekonomi rakyat. Oleh karena itu lebih tepat apabila kita meninjaunya dari segi kenyataan yang ada secara sederhana, melalui common sense, yaitu bahwa kita memiliki pertanian rakyat, perkebunan rakyat, perikanan rakyat, tambak rakyat, pelayaran rakyat, kerajinan rakyat, industri rakyat, penggalian rakyat, pertambangan rakyat, pertukangan rakyat, bahkan yang teramat penting bagi kehidupan sehari-hari adalah bahwa kita memiliki dan hidup dan pasar-pasar rakyat. Kita kenal pula ekonomi rakyat yang berbasis komoditi seperti kopra rakyat, kopi rakyat, karet rakyat, cengkeh rakyat, tembakau rakyat, dst. yang menjadi penyangga/sokoguru bagi industri prosesing di atasnya. Ini semua memberikan lapangan pekerjaan dan sumber kehidupan yang sangat luas kepada masyarakat. Membangun ekonomi rakyat adalah membangun usaha-usaha rakyat yang riil seperti tersebut di atas.

Apabila kita mengingat betapa besarnya BLBI dan Obligasi Rekap yang dikeluarkan Pemerintah kepada para konglomerat hitam, betapa tidak adilnya MSAA yang menjadi sumber hukum bagi pengampunan hutang (keputusan memberikan R&D bagi para penyamun BLBI), memang kita cenderung untuk terpaku pada pola-pikir “perlunya pemihakan” mulai diberikan kepada ekonomi rakyat. Namun pemihakan (altruisme) saja kepada ekonomi rakyat tidaklah cukup. Kita harus meyakini pula bahwa ekonomi rakyat memiliki peran dan kekuatan sebagai strategi pembangunan.

Makna sebagai strategi pembangun­an itu, antara lain: (1) Dengan rakyat yang secara partisi­patif-eman­sipatif berkesempatan aktif dalam kegiat­an ekonomi akan lebih menjamin nilai-tambah eko­nomi optimal yang mereka hasilkan dapat secara lang­sung diteri­ma oleh rakyat. Peme­rataan akan ter­jadi seiring dengan per­tum­buhan. (2) Memberda­yakan rakyat merupakan tugas nasional untuk me­ningkatkan produktivi­tas rakyat sehingga rakyat le­bih secara konkret menjadi aset aktif pembangun­an. Subsidi dan proteksi kepada rakyat untuk mem­bangun diri dan kehidupan ekonominya meru­pakan investasi ekonomi nasional, me­rupakan hu­man in­vest­ment (bukan pemboros­an atau inefficien­cy) dan mendorong tumbuhnya kelas menengah yang ber­basis grassroots. (3) Pem­bangunan ekonomi rakyat meningkat­kan daya-beli rakyat yang kemudian akan men­jadi energi rakyat untuk lebih mampu mem­bangun diri­nya sen­diri (self-empower­ing), sehingga rakyat mampu me­raih “nilai-tambah ekonomi” dan sekali­gus “nilai-tambah sosial” (nilai-tambah kemar­tabatan). (4) Pem­bangunan eko­nomi rakyat sebagai pemberdayaan rakyat akan meru­pakan pe­ningkatan collective bargaining posi­tion untuk lebih mampu men­cegah eksploitasi dan subordinasi eko­nomi ter­hadap rak­yat. (5) Dengan rakyat yang lebih aktif dan lebih pro­duktif dalam kegiatan ekonomi maka nilai-tambah ekono­mi akan sebanyak mungkin terjadi di dalam negeri dan untuk kepentingan ekonomi dalam-negeri. (6) Pembangun­an ekonomi  rakyat akan lebih menyesuaikan ke­mampuan rakyat yang ada dengan sumber-sumber alam dalam negeri yang tersedia (factor-endowment Indonesia) ber­dasar strategi resources-based dan people-cen­tered. (7) Pembangunan ekonomi rakyat akan lebih me­nyerap tenaga kerja. (8) Pembangunan ekonomi rak­yat akan bersifat lebih quick-yielding dalam suasana ekonomi yang sesak napas dan langka modal. (9) Pembangunan perekonomian rakyat sebagai  sokoguru perekono­mian nasional akan me­ningkatkan kemandirian ekonomi dalam-negeri pada eko­nomi luar-negeri, akan mene­kan sebanyak mung­kin ketergan­tungan akan import-components dan meningkatkan do­mestic-contents industri dalam-negeri, yang selan­jutnya akan lebih mampu meng­gerakkan pasaran dalam-negeri. (10) Pemberdayaan per­ekonomian rakyat yang akan lebih mampu memperkukuh pasaran dalam-negeri yang akan menjadi dasar bagi pengem­bangan pasar­an luar-negeri (ekspor). (11) Dalam globalisasi ini kita harus tetap waspada terhadap paham globalisme yang cen­de­rung me­nyingkirkan paham nasionalisme. Kepen­tingan na­sional  Indonesia harus te­tap kita utama­kan se­bagaimana negara-negara adidaya selalu memper­tahan­kannya pula dengan berbagai dalih ekonomi dan politik. Pembangun­an perekonomian rakyat akan menjadi akar bagi penguatan fundamental ekonomi nasional dan menjadi dasar utama bagi realisasi nasionalisme eko­nomi. (12) Pem­bangunan per­ekonomi­an rakyat dapat dilaksana­kan (imple­mentable) tanpa mem­pergunjingkan ekstremitas positif-negatif­nya peran dan me­kanisme pasar. (13) Pem­bangun­an pereko­nomian rak­yat merupakan misi politik dalam melak­sanakan demo­kratisasi ekonomi  sebagai sumber rasiona­litas dan pemi­hakan kepada rakyat kecil. (14) Satu dekade yang lalu ada ajakan untuk meninjau ulang strategi-strategi pembangun­an (De­velopment Strategies Recon­sidered, Over­seas De­velopment Council, 1987) dan ajakan yang mutahir (The Frontiers of Development Economics, Meier & Striglitz, 2001) menegaskan betapa perlu ada shift of paradigms dalam pemikiran ekonomi. Pereko­nomian rakyat memperoleh tempat dalam rekonsiderasi di situ. Lebih dari itu, bagi mereka yang masih mau melepaskan ortodoksi perlu membaca ide-ide lama dan baru me­ngenai social market economy. (15) Secara ke­seluruhan­nya, butir-butir tersebut di atas akan lebih menjamin ter­jadinya pembangunan Indo­nesia, bu­kan sekadar pembangunan di Indonesia. (16) Pem­­bangunan eko­nomi kerakyatan bertumpu pada platform bahwa yang kita bangun adalah rakyat, bangsa dan negara. Pembangunan ekonomi (GNP) adalah derivat dari platform ini, tidak terlepas dari pem­bangunan rakyat, bangsa dan negara. (17) Dalam kenyataan, ekonomi rakyat telah menghidupi seba­gian terbesar dari rakyat Indonesia, di tengah-tengah pasang-surutnya sektor perekonomian formal-mo­dern, sejak awal kemer­dekaan hingga saat ini. Ke­semua­nya men­dukung percepatan upaya melak­sanakan transfor­masi ekonomi dan transfor­masi sosial.

Gerakan Koperasi Internasional (ICA), ILO dan Setjen PBB justru sedang menegaskan ulang tentang pentingnya koperasi untuk memajukan grassroots economy, khususnya ekonomi rakyat. Bahkan Konvensi PBB 2001 (sebagai hasil Sidang Umum-nya) menetapkan pula koperasi sebagai wadah grassroots economy di seluruh dunia perlu didorong maju berkat tiga prestasi utamanya yang telah dibuktikan, yaitu dalam (1) memberantas kemiskinan; (2) menciptakan lapangan kerja secara substantif; dan (3) memper­kukuh integrasi sosial (yang artinya memperkukuh solidaritas sosial). Sementara itu Dunia saat ini mulai banyak bicara mengenai world solidarity dan world equality.

Sayang sekali Indonesia, karena terbenam dalam dept-trap dan cultural-trap, malahan menjadi mudah kagum terhadap ide liberalisme dan privatisasi, serta terbawa arus pemikiran mentah kapitalisme global. Dalam hal ini saya ingin memperingatkan, agar kita menolak privatisasi dan mengutamakan “go-public” demi pemilikan merata oleh rakyat. Mengapa kita tidak berpikir besar demi kemuliaan rakyat: Mengapa Indosat dijual ke asing, padahal Indosat bisa dimiliki oleh para pelanggan ponsel yang pasti mampu membelinya. Mengapa Semen Gresik hendak dijual ke asing pula, padahal baik para developers dalam-negeri maupun para pemilik toko material dalam-negeri mampu membeli saham Semen Gresik; Pemda-Pemda pun bisa diatur dan dibantu untuk mampu memiliki Semen Gresik (daripada uang dihamburkan untuk membiayai Release & Discharge bagi para pengusaha hitam). Mengapa pula BCA dan lain-lain bank dijual ke asing, padahal bisa dibeli oleh para nasabah. Tentu kita bertanya mengapa Indofood tahu-tahu sebagian sahamnya telah dimiliki asing, padahal seharusnya dijual kepada rakyat (para konsumen dalam-negeri) yang dengan setia telah membesarkan dan menjadi pelanggan Indofood. Inilah peran Pemerintah yang harus melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 ke dalam dimensi perkoperasian, karena dengan demikian itu pemilik Indosat, Semen Gresik, BCA, Indofood adalah para pelanggannya sendiri. Bukankah ciri utama koperasi adalah bahwa pemilik adalah sekaligus pelanggan? Macam inilah yang kita cita-citakan sebagai transformasi ekonomi dan transformasi sosial, sebagai peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat dalam kehidupan sosial-ekonomi. Inilah konsep Triple-Co yang saya ajukan di atas, di mana pemilikan aset nasional tidak terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat, tetapi merata dalam wujud co-ownership, co-determination dan co-responsibility yang melibat­kan masyarakat seluas-luasnya, meningkatkan pemilikan (wealth) dan partisipasi rakyat serta mengangkat harkat martabatnya, dari martabat sebagai kuli atau buruh menjadi mitra usaha.


Penutup


Kita telah menghadapi tidak saja debt-trap tetapi culture-trap. Kita tidak mudah melakukan transformasi ekonomi dan transformasi sosial dalam rangka merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional karena kita terbelenggu oleh peraturan hukum ex-kolonial dan pola pikir individualistik, serta lengah mewujudkan paham kebersamaan dan asas kekeluargaan dalam kehidupan ekonomi. Padahal individualisme dalam wujud self-interest telah mendapat tentangan, baik secara moral maupun teoretikal di dalam perkembangan ilmu ekonomi baru. Paham fundamentalisme pasar mendapat banyak kecaman pula, tidak saja dari segi moralitas tapi juga dari segi teknis dan teoretikal. Pasar mengemban berbagai ketidakmampuan untuk mendukung kepentingan ekonomi masyarakat, cita-cita pemerataan dan keadilan. Mekanisme pasar banyak membuktikan kegagalan-kegagalannya (market failures) terutama dalam menjaga kepentingan mereka yang lemah daya belinya, sehingga pasar-bebas dengan persaingan-bebas yang mengiringinya telah memojokkan pihak yang lemah (the under class) menumbuhkan disempowerment dan impoverishment). Globalisasi yang berse­iringan dengan pasar-bebas dan persaingan-bebas adalah kemasan baru dari kegiatan homo economicus multinasional, dengan insting dasarnya yang predatori dan hegemonik, dan mengemban paham homo homini lupus dalam wajah indahnya yang canggih.

Persaingan (competition) dan kerjasama (cooperation) adalah kekuatan kembar yang menggerakkan dunia. Ilmu ekonomi neoklasikal memperoleh cap sebagai ilmu parsial (terkapsul) karena mengabaikan kerjasama ke dalam theory building dan academic teaching. Padahal kehidupan lebih banyak ditandai dengan kedamaian, tidak selalu diisi dengan perang. Ilmu ekonomi pasar-bebas dengan persaingan bebas menciptakan suatu restless society, padahal dengan kerjasama akan lebih terjamin terbentuknya suatu peaceful society. Krugman, Thurow dan Soros mulai mengecam obsesi persaingan yang menumbuhkan perang dagang global.

Keterjebakan Indonesia di dalam hutang luar-negeri tidak terlepas dari hegemonisme dan berkembangnya imperialisme baru. Kita melihat bukti yang makin nyata dari hari ke hari terjadinya disempowerment terhadap bangsa dan negara Indonesia. Kita menyaksikan pula bahwa yang terjadi saat ini pembangunan di Indonesia dan bukan  pembangunan Indonesia. Disempowerment ini berkelanjutan dengan makin dibiarkannya pengangguran dan kemiskinan rakyat makin meluas. Kebijaksanaan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan perluasan lapangan kerja bukanlah hanya suatu kelengahan (mindset dari kelompok market fundamentalists), tetapi patut diwaspadai sebagai suatu kepentingan untuk mendominasi dan melanggengkan ketergantungan nasional. Kelompok ekonomi meanstream Indonesia tidak saja lengah-misi tetapi juga lengah-budaya. Paham meanstream mereka telah menjadikan mereka sebagai tawanan empuk dan target pelumpuhan. Terbentuklah masyarakat komprador dalam gerakan hegemonik terhadap Indonesia ini.

Saya menyadari sulitnya merubah suatu mindset, termasuk apa yang saya alami (di Bappenas) sendiri, yaitu tidak mudah meyakinkan bahwa target “meningkatkan kemandirian” atau “mengurangi ketergantungan” harus berada di atas target pertumbuhan GDP. Tidak mudah pula menerapkan paradigma populis ini: “let us take care of employment, employment will take care of growth”. Syukurlah gerak terjadinya pergeseran paradigma ke arah yang positif ini mulai terasakan.

            Sebagai contoh konkrit, Menteri PPN/Bappenas berulangkali telah mengemukakan, dan akan saya ulangi di sini,  agar kita melaksanakan keputusan rakyat, yaitu Tap MPR No. VI/2002, untuk segera mengakhiri kerjasama IMF. Kita melunasi hutang kita dengan cadangan devisa yang telah cukup banyak. Jumlah uang pelunasan ini murah nilainya jika dibandingkan dengan apa yang akan kita peroleh kembali dari tangan mereka (IMF), yaitu kebebasan dalam bertindak untuk menentukan sendiri apa yang terbaik bagi diri kita, secara strategis dan terhormat.

            Membiarkan dilanggarnya TAP MPR itu, dengan segala siasat dan cara-cara tersembunyinya, berarti membiarkan bebas bergeraknya political villains seperti yang digambarkan oleh José Ortega y Gasset (1939) dalam La Rebelion de las Masas – tentang bangkitnya pembangkang-pembangkang (liar), yang menjadi penguasa negara tanpa visi dan misi (kecuali misi kelompok kepentingan), yang orang Belanda menerjemahkannya (1954) sebagai De Opstand der Horden. Hal itu menjadi kenyataan, dan kita masuk ke dalam awal dari bencana  nasional yang besar.
            Sebagai penutup akan saya ungkapkan di sini sikap Presiden Sukarno yang terpaksa menyatakan keluar dari PBB dan IMF dan mengatakan “go to hell with your aid”, tidak terlepas dari masalah ini.

 Presiden Soeharto yang membubarkan IGGI pada tahun 1992 karena membela harga diri bangsa dan rasa berdaulat serta menolak keter­diktean pula. Sikap Menteri Pronk yang seenaknya menginterpretasi­kan pelaksanaan HAM di Indonesia menjadi sebab utamanya. Memang ironis, IGGI lahir karena tuntutan ekonomi, tetapi bubar karena tuntutan kultural. Demikian pula Presiden Soeharto secara sepihak membatalkan rencana pembelian F-16 Amerika Serikat dan merintis pembelian Sukhoi dari Rusia atas alasan yang mirip.

Namun dengan Camdessus (IMF), Presiden Soeharto sempat terjebak dan terdikte, beliau sendiri saya perkirakan menyesal atas keterdiktean ini, beliau terkecoh oleh para economic villains. Dalam mengatasi persoalan kenegaraan, yang kita perlukan adalah teknosof dan politikus negarawan sekaligus. Tatkala IMF hingga saat ini menekan Indonesia dan kaum reformis menolak IMF, para mantan teknokrat Presiden Soeharto ternyata terkesan tetap berpangku-tangan sebagai pilihan sikap budaya.

Kita memang menghadapi krisis politik, krisis kepemimpinan dan krisis ekonomi. Lebih dari itu, sebenarnya kita menghadapi krisis budaya yaitu: krisis jatidiri, krisis harga-diri dan krisis kesadaran nasional.

Oleh karena itu, mengutip ucapan Daoed Joesoef, pembangunan nasional harus pula berdimensi pembangunan innerlijke beschaving.



1)      Mereka yang mengingkari gugatan ini kiranya terperangkap oleh sindrom “ideology fatigue”, menjadi coquettish dan latah dalam menyongsong de-ideologisasi yang penuh absurditas, lihat Sri-Edi Swasono, Merubah Pakem: Mewaspadai Pasar-Bebas, dari artikel 1988 (Surabaya: Pascasarjana Unair, 2001), hlm. 26.
        Perlu dikemukakan di sini bahwa pada tahun 1970, selaku Staf Khusus Ketua Bappenas, penulis bertugas untuk memimpin pengumpulan data sebagai persiapan awal penyusunan Repelita II. Kebetulan pada periode berikutnya penulis juga menjadi anggota Pokja GBHN pada Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, sebagai lembaga tunggal yang bertugas menyusun naskah resmi GBHN. Ada keterkaitan khusus antara Repelita II dan GBHN 1973 yang menyangkut pinjaman luar-negeri. Pimpinan Bappenas dan Pimpinan Dewan Pertahanan Nasional berpegang pada satu platform nasional yang ditetapkan oleh Kepala Negara, yaitu bahwa “pinjaman luar-negeri” merupakan “pelengkap dan bersifat sementara”. Di balik platform itu terpelihara suatu paham politik nasional, yaitu bahwa di dalam pembangunan nasional ini yang kita bangun adalah rakyat, bangsa dan negara (lihat Lampiran IV). Dengan kata lain, pembangunan ekonomi adalah derivat dari paham politik nasional ini, artinya pembangunan ekonomi berkedudukan sebagai pendukung integral terhadap pembangunan rakyat, bangsa dan negara. Dari sini berkembang pemikiran strategis yang membedakan antara “pembangunan Indonesia” dengan sekedar “pembangunan di Indonesia” (juga antara “pembangunan ekonomi” dengan “pembangunan manusia seutuhnya”). Platform ini kemudian melembaga ke seluruh birokrasi, dan karena platform ini ditegaskan oleh GBHN, maka platform ini juga tersosialisasi secara luas di kalangan masyarakat. Namun entah mengapa, kemudian di dalam GBHN 1988 platform ini dilepas, tidak lagi kita temukan arahan bahwa pinjaman luar-negeri merupakan pelengkap dan bersifat sementara. Memang sejak tahun 1988 kita mengenal maraknya semangat liberalisasi dan deregulasi. (Platform ini hilang dari GBHN bukan tanpa skenario).
2)      Mengenai nasionalisme dapat saya kutipkan: “…The very nature of economics is rooted in nationalism…The aspirations of the developing coun­tries are more for national independence and national self-respect than just for bread to eat… The hard-headed Classicals were in favor of Free Trade because it was good for Great Britain, not because it was good for the World …”, lihat Joan Robinson, Economic Philosophy, Chicago: Aldine Publishing, 1962; “… Today, it is claimed, we live in the period of late capitalism, and possibly in the postindustrial society, yet nationalism … is not gone, nor does it show any signs of being gone soon…. Nationalism first appeared in England, becoming the preponderant vision of society there… the sustained growth charac­teristic of modern economy is not self-sustained; it is stimulated and sustained by national­ism…”, lihat Leah Greenfeld, The Spirit of Capitalism: Nationalism and Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2001; “… It has been a commonplace to view nationalism as the greatest, the most powerful single force in the modern world…”, lihat Ian S. Lustick, Hegemony and The Riddle of Nationalism, Logos 1.3 – Summer 2002, hlm. 18.
3)      Lester C. Thurow,  Gurubesar Ekonomi pada MIT menegaskan: “ economics is in the state of turmoil the economics of the textbooks and of the graduate schools not only still teach price-auction model but it is moving toward narrower and narrower interpretations … the mathemati­cal sophistication intensifies as an under­stand­ing of the real world diminishes… economics cannot do without simplifying assumptions, but the trick is to use the right assumption at the right time, and this judgement has to come from empirical analys­es including those employ­ed by historians, psycho­logists, sociologists and poli­tical sci­entists…”,  lihat Lester C. Thurow, The Dengerous Currents: The State of Economics (New York: Random House, 1983), hlm. 236-237.
4)      Robert Heilbroner salah satu tokoh besar Amerika Serikat dalam ilmu ekonomi dan Lester C. Thurow secara konsisten menegaskan mengenai the defects of the market sebagai berikut: “… the market is an insufficient instrument for provisioning society, even rich societies the market is assiduous servant of the wealthy, but indifferent servant of the poor market system promote amoral­ity, it is not just an economic failure, but it is a moral failure…, lihat Robert Heilbroner dan Lester C. Thurow, Economics Explained (New York: Simon Schuster, edisi baru, 1994), hlm. 255-256; sementara itu George Soros mengatakan: “… But market fundamentalism has become so powerful that any political forces that dare to resist it are branded as sentimental, illogical, and naïve. …Yet the truth is that market fundamen­talism is itself naïve and illogical. Even if we put aside the bigger moral and ethical questions and concentrate solely on the economic arena, the ideology of market fundamentalism is profoundly and irredeemably flawed. To put the matter sim­ply, market forces, if they are given complete authority even in the purely economic and finan­cial arenas, produce chaos and could ultimately lead to the downfall of the global capitalist system. This is the most important practical implication of my argument in this book…”; lihat George Soros, the Crisis of Global Capitalism (New York: Public Affairs, 1998), hlm. xxii.
5)      Lihat John Kenneth Galbraith, The Culture of Con­tent­ment (Boston: Houghton Mifflin, 1992).
6)      Lihat Leah Greenfeld, the Spirit of Capitalism:…, op. cit., hlm. 4.
7)      Lihat Meadows, Donella H., et al., The Limits to Growth (New York: Universe Books, 1972). Duapuluh tahun  kemudian, sebagai kelanjutan dan evaluasinya, ternyata ‘limits’ itu telah dilampaui, lihat Meadows, Donella H, et al., Beyond the Limits, Forward by Jan Tinbergen (Vermont: Chelsea Green, 1992).
8)      Heilbroner dan Thurow menyebutkannya sebagai “micro-macro ills”, Robert Heilbroner dan Lester C. Thurow, Economics Explained, op. cit, hlm. 256. Dalam ruang kelas akan bisa sangat menarik membicarakan asumsi constant returns to scale vs increasing returns to scale dan transformasinya dari tataran mikro ke tataran makro. Para pengajar dianjurkan untuk membaca “the new growth economics” sebagaimana dikemu­kakan oleh Samuelson yang berkaitan dengan capital deepening, increasing returns to scale, external scale economics, lihat Paul A. Samuelson, “Sparks and Grit from the Anvil of Growth”, dalam Gerald M. Meier dan Joseph E. Stiglitz (eds.), Frontiers of Development Economics (Washington DC: IBRD/Oxford Univer­sity Press, 2001), hlm. 492-505.
9)      Lihat beberapa artikel dalam Sri-Edi Swasono, Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat (Jakarta: UI-Press, 1992); lihat pula Sri-Edi Swasono, Dari Lengser ke Lengser: Reformasi Menjadi Deformasi (Jakarta: UI-Press, 2001), op.cit.
10)     Dikatakan Mahbub ul Haq “… we were tought to take care of GNP as this will take care of poverty. Let us reverse  this and take care of the poverty…” (yang dimaksud melalui employment, pen.) as this will take care of GNP”, lihat Mahbub ul Haq, “Employment and Income Distribution in the 1970’s: A New Perspective”, Development Digest, October 1971, hlm. 7. Lihat pula Sri-Edi Swasono, “Prospek dan Perkembangan Per­ekonomian Rakyat/UKM: Antara Kedaulatan Rakyat dan Ke­daulat­an Pasar”, mimeo, Diklatpim, LAN, Denpasar, 21-22 Maret 2002.
11)     Lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika: Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi (Yogyakarta: UGM-PUSTEP, 2003), hlm. 36-38.
12)     Lihat Sri-Edi Swasono, Pem­bangunan Berwawasan Sejarah: Kedaulatan Rak­yat, Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Politik (Jakarta: UI-Press, 1990), hlm. 26-43.
13)     Dalam Kata Sambutan pada buku Sri-Edi Swasono, Sritua Arief mengatakan: “…Saya dan Saudara Sri-Edi menentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pasar-bebas dalam ruang lingkup internasional yang tidak adil. Pasar harus diintervensi, justru perlu ada a visible hand untuk me­ngatur pasar demi kepentingan negara dan kemas­lahatan masyarakat. Itulah sebabnya kami menolak internasio­nalisasi modal, produksi, dan perdagangan secara bebas. Ini akan merunyamkan ekonomi rakyat bangsa kita…”, lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose …, op. cit., hlm. xii.
14)     (1) Kelompok pengagum dan pemuja globalisasi yang melihat globalisasi semata-mata dari segi-segi po­sitif-imperatifnya, bahwa globalisasi adalah tun­tutan sejarah yang tidak terelakkan, suatu inevitability, suatu realitas dan bukan lagi suatu pilihan. Para akade­misi ekonomi yang berorientasi pada market fundamentalism (Smithi­an) pada umumnya masuk kelompok ini, yang ten­tunya pula menerima dengan mudah paham liberalisme dan kapitalisme. Bagi mereka globalisasi adalah suatu progress dan oppor­tu­nities. (2) Kelompok yang kritis dan lebih objektif da­lam menyimak dan me­nimbang makna globa­lisasi. Glo­ba­lisasi diungkapkan sebagai fenome­na global yang telah mengakibatkan banyak sekali kekecewa­an, bah­kan kebrutal­an sosial-ekonomi dan sosial-kultural, tanpa peduli terhadap nilai-nilai tradisio­nal, yang kesemuanya mengaki­batkan penderitaan yang luas, se­hingga globalisasi harus direformasi secara radikal (Stiglitz, Huntington). Glo­balisasi men­dorong per­saingan secara berlebih yang menju­ruskan kepada konflik perdagangan bahkan mung­kin perang-da­gang dunia (world trade war) (Krugman). Glo­balisasi tidak ber­pihak kepada kaum miskin bah­kan acapkali me­rupakan proses dehumanisasi. Ke­lom­pok ini meru­pakan ke­lom­pok korektif, namun bukan pe­nentang. Dalam ke­lompok ini termasuk mereka yang masih me­nyang­sikan apakah globalisasi bisa ter­wujud benar-benar, apakah suatu global economy bisa ter­bentuk tanpa adanya (dalam kenya­taan atau per­kiraan) suatu global society (Soros, Thurow); bukanlah kesera­kahan ka­pitalisme global yang me­ngiringi glo­balisasi akan selalu condong mem­ben­tukkan sua­tu discri­minatory frag­mented global society? (3) Ke­lompok yang menolak globalisasi, yang pada haki­katnya adalah wujud baru dari im­perialisme (Petras & Veltmeyer, J.W. Smith, Huntington). Globa­lisasi merupa­kan proyek politik ka­um im­perialis global dengan global governance-nya yang nampak terang-terangan ataupun terselubung. Ke­lompok ini me­nem­patkan nasionalis­me ekonomi sebagai suatu ke­kuat­an tang­guh untuk memajukan dan menjaga ke­sinam­bungan kehidupan ekonomi masyarakat ber­dasar kenyataan riil tentang hidup dinamisnya plu­ralisme global (Robinson, Greenfeld). Kelompok ini melihat globalisasi sebagai sosok intruder yang melakukan dolarisasi dan Amerikanisasi, menolak ide global uniformity dan mempertahankan global pluralism serta na­tional uniqueness. Untuk itu bicara mengenai per­lunya suatu aksi kolektif yang terkoordinasi untuk memo­bilisasi kekuatan oposisi dan menolak globa­lisasi yang berinsting dasar predatori ini. Kelompok ini menolak dominasi ataupun subor­dinasi ekonomi, menguta­makan koeksistensi damai antarbangsa dan memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai a new internationalism of equals (Petras & Veltmeyer), lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose…, op.cit., hlm. 123-125.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar