Selasa, 15 November 2011

KEMANDIRIAN, DASAR MARTABAT BANGSA


Ide dan Tekad Mandiri Sejak Pra-Kemerdekaan
Menimba pemikiran di zaman prakemerdekaan di awal tulisan ini merupakan titik tolak  untuk meninjau relevansinya terhadap masa kini, meninjau kadar kekiniannya. Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda (Indische Vereeniging kemudian menjadi Indonesische Vereeniging) pada tahun 1921 memantapkan diri sebagai perhimpunan politik yang kemudian sangat berperan-menentukan dalam perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia. Perkembangan politik di Hindia Belanda mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda.
Pada tahun 1923, Perhimpunan Indonesia mengeluarkan pernyataan bahwa tiap-tiap orang Indonesia harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai maksud itu dengan kekuatan dan kemampuannya sendiri, terlepas dan bantuan orang lain.
Di dalam berbagai tulisannya, Mohammad Hatta menyatakan prinsip non-kooperatif yang dianut Perhimpunan Indonesia itulah yang telah ikut memasyhurkan perhimpunan ini di kalangan rakyat Indonesia, khususnya di antara para cendekiawan Indonesia. Mengutip pernyataan Mohammad Hatta tahun 1925:
“..Dengan memakai prinsip non-kooperatif, Perhimpunan Indonesia menghendaki suatu kebijaksanaan menyandarkan diri pada kekuatan sentdiri, yaitu suatu kebijaksanaan berdiri di atas kaki sendiri. Perhimpunan ini akan mengumandangkan perasaan hormat pada diri sendiri ke dalam kalbu rakyat Indonesia. Sebab hanya suatu bangsa yang telah menyingkirkan perasaan tergantung saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang faham akan harga dirinya maka cakrawalanya akan terang-benderang. Perhimpunan Indonesia ingin mendidik bangsanya sendiri dan membuatnya kukuh kuat…”.[iii]
[iii] Mohammad Hatta, Berpartisipasi dalam Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia, alih bahasa Sri-Edi Swasono, (Jakarta: Yayasan Idayu 1974), hlm. 10) 
Selanjutnya dapat dikutipkan:
 "... untuk dapat melaksanakan gerakan non-kooperatif di Indonesia, Perhimpunan Indonesia menekankan kepada anggota-anggotanya pada segala kesempatan, mereka harus bersiap diri menghadapi kesulitan-kesulitan politis dalam kehidupan masa depan mereka, seperti penahanan-penahanan, penjara, pembuangan, dan sebagainya...”.[iv]
[iv] Loc. cit.
Lahirnya pernyataan asas-asas Perhimpunan Indonesia tahun 1925 disebutkan oleh Sartono Kartodirdjo, sebagai Manifesto Politik 1925. Perhimpunan Indonesia, yang telah dipersiapkan sejak tahun 1923 itu dengan Mohammad Hatta sebagai penggerak utamanya. Menurut ahli sejarah ini, Sumpah Pemuda 1928 merupakan pengumandangan (amplification) dimensi-dimensi Manifesto Politik 1925 ini [v]
[v] Sartono Kartodihardjo (wawancara pnibadi 1989 dengan penulis).
Dari pernyataan Perhimpunan Indonesia tahun 1923 dan tahun 1925 itu, dapat ditarik hakikat manifesto itu: (1) perjuangan memperoleh otonomi, mencapai kemerdekaan Indonesia, (2) pemerintahan yang dipegang dan dipilih oleh bangsa Indonesia sendiri, (3) kesatuan sebagai syarat perjuangan mencapai tujuan, (4) menolak bantuan dari pihak penjajah atau pihak lain manapun.[vi]
[vi] Loc. cit.
Dari tulisan monumental Mohammad Hatta Ke Arah Indonesia Merdeka (1932) mengenai faham kebangsaan dan kerakyatan, sekali lagi Mohammad Hatta menegaskan bahwa:
“...Asas Kerakyatan mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala Hukum (Recht, peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan Keadilan dan Kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan harus sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan oleh segala jenis manusia yang beradap, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri...”.[vii]
[vii] Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, 1932 (Jakarta: Dekopin, 1994)
Kemudian Mohammad Hatta menegaskan pula:
“...Supaya tercapai suatu masyarakat yang berdasar Keadilan dan Kebenaran, haruslah rakyat insaf akan haknya dan harga dirinya. Kemudian haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri dan perihal bagaimana ia mesti hidup dan bergaul. Pendeknya, cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian negeri semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat… “[viii]
[viii] Daulat Ra’jat  20/30 September 1932

Tidak ada komentar:

Posting Komentar